Spionase Mossad Eli Cohen
Kisah Eli Cohen, Mata-mata Legendaris Israel di Suriah yang Berakhir di Tiang Gantungan #1
Eli Cohen, merupakan mata-mata Israel. Dia terkenal dalam sepak terjangnya sebagai spionase pada 1961-1965 di Suriah
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Isaac lantas menawari Eli apakah ia bersedia lagi bergabung. Tanpa ragu, Eli akhirnya menyetujui tawaran perwira bernama samaran Dervish itu sepenuh hati dan jiwa. Ia bersedia jadi mata-mata di negara Arab mana pun juga.
Eli tidak tahu, setahun penuh sejak ia keluar dari tempat kerja, ia terus dipantau Mossad mendetail sampai tidak ada yang tersisa dalam riwayat hidupnya. Eli langsung menjalani serangkaian tes psikis dan kesehatan, lalu mengikuti pelatihan khusus di sekolah Mossad.
Dari training dasar, latihan pembuntutan, pengecohan, membuat bom, menyabot, memalsu dokumen, operasi radio, semua dikuasai Eli. Fase penting bagi Eli adalah ketika ia menjalani peran sebagai seorang pengusaha Prancis dengan berbagai lika-likunya.
Ini tes paling sulit dan dimonitor sepenuhnya oleh Mossad. Berbagai teknik penetrasi, penyamaran, pengecohan akan diuji. Eli lolos dengan penilaian sangat baik. Di antara berbagai tes, hanya satu yang lolos dari monitoring agen yang membuntuti.

Setelah itu Eli menjalani fase terakhir sebelum ditugaskan, yaitu belajar Islam di Kota Nazareth. Ia diberi identitas mahasiswa dari Mesir yang ingin belajar agama. Eli menjalani kehidupan rutin layaknya seorang Muslim.
Tiap hari ia hanya belajar di masjid dan rumah pembimbing spiritualnya. Setelah selesai, Eli Cohen kembali ke Tel Aviv, dan siap seutuhnya menyusup ke negaraa tujuan. Terakhir ia dibawa mentornya ke dataran tinggi Golan, dekat perbatasan Israel-Suriah.
Si mentor menceritakan banyak hal, termasuk proyeksi masa depan konlik ISrael-Suriah. Ia menunjuk ke arah Suriah, sembari memberitahu Eli, di sanalah ia akan ditugaskan sebagai mata- mata.
Sebelum benar-benar dikirimkan, Eli kembali menjalani pelatihan memahami sejarah dan pernak- pernik budaya Suriah, termasuk dialek dan bahasa Arabnya yang berbeda dengan yang lain. Semua dilalui mulus.
Terakhir, Eli dilatih memfasihkan bahasa Spanyol, dan belajar sebaik mungkin menggunakan bahasa itu dalam tekanan dan lagu Argentina. Eli Cohen sebentar lagi menjalani identitas barunya sebagai seorang pengusaha ekspor impor berdarah Suriah. Namanya Kamil Amin Taabes.
Pada 1 Maret 1961, pesawat dari Zurich (Swiss) mendarat mulus di Buenos Aires, Argentina. Kamil Amin Taabes duduk tenang di kabin kelas satu. Berpakaian perlente, ia turun dan mencegat taksi bandara.

Taabes memperkenalkan diri sebagai orang asing yang baru pertama kali ke Buenos Aires, dan minta diantar ke hotel yang bagus. Sopir taksi mengantarnya ke Avenida Nueve de Julio di jantung ibukota Argentina.
Tiap hari Taabes keluar hotel pagi-pagi, pulangnya malam. Seminggu kemudian, ia mendapatkan apartemen bagus tak jauh dari hotel. Selama sepekan itu, Taabes sudah mengetahui pusat-pusat komunitas Arab di Buenoe Aires.
Ada tak kurang setengah juta orang Arab tinggal di Argentina. Tak heran di kota ini banyak klub- klub Lebanon, Suriah, Iran dan beberapa negara Timteng lain. Tiap malam jadi pusat kumpulan komunitas Arab dari berbagai negara.
Taabes cepat bergaul di komunitas Suriah, hingga suatu saat ia diperkenalkan dengan Mayor Amin al-Hafez, atase militer Kedutaan Suriah di Buenos Aires. Lewat Hafez lah, Taabes kelak akan pulang ke tanah airnya, Damaskus.(xna)