Spionase Mossad Eli Cohen

Kisah Eli Cohen, Mata-mata Legendaris Israel di Suriah yang Berakhir di Tiang Gantungan #1

Eli Cohen, merupakan mata-mata Israel. Dia terkenal dalam sepak terjangnya sebagai spionase pada 1961-1965 di Suriah

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
alamy
Eli Cohen berakhir di tiang gantungan 

Dua kali serangan udara Israel ke Suriah dalam tujuh hari terakhir mengingatkan kisah seru operasi mata-mata Israel di Damaskus. Kamil Amin Taabes nyaris jadi orang nomer dua di Suriah, sebelum aksinya dibongkar Kolonel Ahmed Souwedani. Taabes adalah Eli Cohen, spion legendaris sepanjang sejarah Mossad. Buku "Mossad; Dinas Rahasia Israel", yang ditulis Denis Eissenberg melukiskan detail drama ini.

Amin Taabes Memulai Petualangan dari Buenos Aires

PERANG di Suez pada Oktober 1956 mengubah segala-galanya. Serbuan Israel yang didukung Inggris dan Prancis membuat kebencian pada Yahudi menjadi-jadi. Operasi Goshen digenjot, dan puluhan ribu warga Yahudi Mesir diselundupkan ke Israel.

Bulan November 1956, Eli Cohen ditangkap polisi Mesir, namun sekali lagi ia lolos dari tuduhan spionase. Namun ongkosnya mahal, Eli Cohen diperintahkan angkat kaki dari tanah kelahirannya. Pada 20 Desember 1956, Eli naik kapal ke Napoli, sebelum nantinya menuju Haifa.

Eli Cohen
Eli Cohen (TRIBUNJOGJA.com)

Saat itu ia berusia 32 tahun, dan belum berkeluarga. Setahun kemudian ia bekerja di lingkungan Departemen Pertahanan, dan inilah jalan lempangnya menuju ke dunia spionase yang jauh lebih menantang dan akan sangat menentukan hidupnya kelak.

Dimulai dari pekerjaan kecil menganalisis berita dari dunia Arab, yang berjalan setahun lamanya. Bosan di belakang meja, Eli mengajukan diri ke atasannya untuk bekerja di lapangan. Permintaan itu sesuai prosedur intel langsung ditolak.

Baca kisah selanjutnya :

Kisah Eli Cohen : Nyaris Jadi Menteri Pertahanan Suriah

Kisah Eli Cohen : Dua Kali Lihat Saudaranya Sebangsanya Digantung

Kisah Eli Cohen : Saya Eli Cohen, dari Tel Aviv

Kisah Eli Cohen : Usaha Penyelamatan Eli Cohen Tak Ada yang Mempan

Merasa terhina karena sudah bertaruh nyawa bagi negerinya di Mesir, Eli mundur. Ia mempelajari bisnis dan akuntansi, dan bekerja sebagai akuntan di sebuah toko di Tel Aviv. Ia lalu bertemu Nadia, gadis Yahudi asal Irak, dan tak lama kemudian mereka menikah.

Keduanya sepakat membangun rumah tangga, jauh dari urusan petualangan. Namun suatu hari, Eli Cohen sekonyong-konyong bertemu bekas rekan kerjanya di Departemen Pertahanan. Ia sudah lupa namanya, tapi masih mengenal baik orangnya.

Eli Cohen
Eli Cohen ()

Orang itu memancing pertanyaan, mengapa Eli meninggalkan pekerjaannya. Penuh kemarahan, Eli menjawab alasan-alasannya, dan si teman itu mendengarkannya tenang seolah tidak mengerti apa- apa. Pertemuan itu berlangsung singkat dan Eli tak menyangka akan ada pertemuan kedua.

Kali ini si teman itu datang ke rumahnya, dan mengajak jalan-jalan di pantai sembari mengobrol. Ia memperkenalkan diri sebagai Isaac Zalman, perwira senior Mossad. Kepada Eli, Isaac menyampaikan Mossad terus memantaunya sejak tiba dari Mesir.

Isaac lantas menawari Eli apakah ia bersedia lagi bergabung. Tanpa ragu, Eli akhirnya menyetujui tawaran perwira bernama samaran Dervish itu sepenuh hati dan jiwa. Ia bersedia jadi mata-mata di negara Arab mana pun juga.

Eli tidak tahu, setahun penuh sejak ia keluar dari tempat kerja, ia terus dipantau Mossad mendetail sampai tidak ada yang tersisa dalam riwayat hidupnya. Eli langsung menjalani serangkaian tes psikis dan kesehatan, lalu mengikuti pelatihan khusus di sekolah Mossad.

Dari training dasar, latihan pembuntutan, pengecohan, membuat bom, menyabot, memalsu dokumen, operasi radio, semua dikuasai Eli. Fase penting bagi Eli adalah ketika ia menjalani peran sebagai seorang pengusaha Prancis dengan berbagai lika-likunya.

Ini tes paling sulit dan dimonitor sepenuhnya oleh Mossad. Berbagai teknik penetrasi, penyamaran, pengecohan akan diuji. Eli lolos dengan penilaian sangat baik. Di antara berbagai tes, hanya satu yang lolos dari monitoring agen yang membuntuti.

Spion Eli Cohen
Spion Eli Cohen ()

Setelah itu Eli menjalani fase terakhir sebelum ditugaskan, yaitu belajar Islam di Kota Nazareth. Ia diberi identitas mahasiswa dari Mesir yang ingin belajar agama. Eli menjalani kehidupan rutin layaknya seorang Muslim.

Tiap hari ia hanya belajar di masjid dan rumah pembimbing spiritualnya. Setelah selesai, Eli Cohen kembali ke Tel Aviv, dan siap seutuhnya menyusup ke negaraa tujuan. Terakhir ia dibawa mentornya ke dataran tinggi Golan, dekat perbatasan Israel-Suriah.

Si mentor menceritakan banyak hal, termasuk proyeksi masa depan konlik ISrael-Suriah. Ia menunjuk ke arah Suriah, sembari memberitahu Eli, di sanalah ia akan ditugaskan sebagai mata- mata.

Sebelum benar-benar dikirimkan, Eli kembali menjalani pelatihan memahami sejarah dan pernak- pernik budaya Suriah, termasuk dialek dan bahasa Arabnya yang berbeda dengan yang lain. Semua dilalui mulus.

Terakhir, Eli dilatih memfasihkan bahasa Spanyol, dan belajar sebaik mungkin menggunakan bahasa itu dalam tekanan dan lagu Argentina. Eli Cohen sebentar lagi menjalani identitas barunya sebagai seorang pengusaha ekspor impor berdarah Suriah. Namanya Kamil Amin Taabes.

Pada 1 Maret 1961, pesawat dari Zurich (Swiss) mendarat mulus di Buenos Aires, Argentina. Kamil Amin Taabes duduk tenang di kabin kelas satu. Berpakaian perlente, ia turun dan mencegat taksi bandara.

Eli Cohen saat berada di Golan
Eli Cohen saat berada di Golan ()

Taabes memperkenalkan diri sebagai orang asing yang baru pertama kali ke Buenos Aires, dan minta diantar ke hotel yang bagus. Sopir taksi mengantarnya ke Avenida Nueve de Julio di jantung ibukota Argentina.

Tiap hari Taabes keluar hotel pagi-pagi, pulangnya malam. Seminggu kemudian, ia mendapatkan apartemen bagus tak jauh dari hotel. Selama sepekan itu, Taabes sudah mengetahui pusat-pusat komunitas Arab di Buenoe Aires.

Ada tak kurang setengah juta orang Arab tinggal di Argentina. Tak heran di kota ini banyak klub- klub Lebanon, Suriah, Iran dan beberapa negara Timteng lain. Tiap malam jadi pusat kumpulan komunitas Arab dari berbagai negara.

Taabes cepat bergaul di komunitas Suriah, hingga suatu saat ia diperkenalkan dengan Mayor Amin al-Hafez, atase militer Kedutaan Suriah di Buenos Aires. Lewat Hafez lah, Taabes kelak akan pulang ke tanah airnya, Damaskus.(xna)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved