Jejak Kedaton Mataram Masa Raja Balitung
Kedaton Itu Ada di Antara Poros Candi Sambisari-Candi Kedulan?
Bagian prasasti Tlu Ron menginformasikan petunjuk penting tentang letak satu di antara simpul kedaton Mataram Kuno yang dicari-cari orang.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalimat pendek berbahasa Jawa Kuno di Prasasti Tlu Ron (2015), ditemukan di situs Candi Kedulan, berbunyi demikian, "i huwus nira mapikat madyus sira i pancuran mulih sira in kadatwan matana sira i san pamgat tiruan pu siwas".
Terjemahannya, "setelah menjerat (perkutut), ia (Raja Balitung) mandi di pancuran. Ia (Raja Balitung) pulang ke kedaton.
Ia bertanya ke Sang Pamgat Tiruan Pu Siwas (Tjahjono Prasodjo, Maret 2018).
Prasasti Tlu Ron dikeluarkan atau ditulis pada 822 Saka (900 Masehi).
Secara menarik, bagian prasasti Tlu Ron ini menginformasikan petunjuk penting tentang letak satu di antara simpul kedaton Mataram Kuno yang dicari-cari orang.
Ratusan tahun, para ahli mencoba melacak jejaknya, namun hingga hari ini masih gelap.
"Saya kira ini petunjuk penting, sangat menarik," kata Baskoro Daru Tjahjono, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Kamis (15/3/2018).
Baskoro termasuk segelintir peneliti yang sampai sekarang tetap berusaha menemukan jejak keraton masa Mataram Hindu.
Juli nanti, jika tidak ada halangan, Baskoro dan tim akan terjun ke lapangan, melakukan pemetaan dan ekskavasi di sebuah titik kawasan yang mereka yakini akan memberikan temuan penting.
"Tak jauh dari Candi Sambisari dan Candi Kedulan," katanya menyebut lokasi yang akan diteliti.
"Secara logika, disebutnya sang raja kembali ke kedaton sesudah mandi di sebelah timur Parhyangan Haji (Candi Kedulan), lokasi kedaton takkan jauh dari situ," lanjut Baskoro yang pernah menulis artikel konsep kosmogoni terkait pembangunan masa Hindu-Budha.
Secara faktual, dari ratusan prasasti temuan dari masa klasik di Jawa, belum ada satupun yang secara spesifik menyebut di mana persisnya lokasi pusat pemerintahan Mataram sejak masa Raja Sanjaya, hingga Pu Sindok memindahkan Mataram ke timur.
Dua ahli sejarah kuno, Dr Djoko Dwiyanto dan Dr Riboet Darmosutopo, mengatakan beberapa inskripsi hanya menyebutkan nama-nama yang dintrepretasikan sebagai pusat kekuasaan Mataram.
Antara lain Mdang di Mataram, Mamratipura, Poh Pitu, Tamlang, dan Watugaluh.
Dua nama terakhir berlokasi di Jombang, Jawa Timur, sesudah perpindahan Mataram pada abad 10. Ketidakjelasan lokasi ini membuat ada banyak versi dan terkaan tentang di mana lokasi Mdang ri Mataram, Mamrati dan Poh Pitu.
"Saya akhir tahun 70an selama enam bulan ngubek-ubek Kedu bersama Pak Timbul (Prof Timbul Haryono), namun nihil. Minim petunjuk. Temuan artefak ada, tapi ya masih gelap di mana letak pusat keraton Mataram dimaksud," kata Djoko Dwiyanto beberapa waktu lalu di UGM.
Kesulitan terbesar yang dihadapi para ahli adalah tiadanya bukti fisik keberadaan lokasi yang memenuhi syarat identifikasi pusat kerajaan.
"Harusnya ini bukan alasan. Harus dicari terus menerus," lanjut epigraf yang pensiun sebagai PNS akhir bulan ini.
Pendekatan menarik kini dilakukan Baskoro Daru Tjahjono dari Balai Arkeologi Yogyakarta.
Ia menggunakan teori kosmogoni untuk menyelami falsafah pembangunan masa klasik, termasuk bagaimana bagaimana penguasa membentuk dan memperkuat pusat kekuasaannya.
Dari konsep itu dikerucutkan ke petunjuk yang diyakini membawa pencarian ke lokasi pusat keraton Mataram Kuno.
Baskoro telah membuat target pencarian di poros Candi Sambisari dan Candi Kedulan.
Mengutip pendapat von Heine Geldern, Baskoro mengatakan, kerajaan-kerajaan kuno Asia Tenggara memiliki landasan kosmogonis yang didasari keserasian antara mikrokosmos dengan makrokosmos.
Dalam pandangan Hindu, alam semesta terdiri dari benua pusat berbentuk lingkaran yang disebut Jambudwipa. Benua pusat itu dilingkari tujuh lautan dan tujuh daratan dan dibatasi oleh pegunungan yang tinggi.
"Di tengah Jambudwipa berdiri Gunung Meru sebagai pusat alam semesta. Di puncak gunung terdapat kota dewa-dewa dikelilingi tempat tinggal delapan dewa penjaga mata angin (Lokapala).
Oleh karena itu pendirian kerajaan-kerajaan kuna Asia Tenggara termasuk di Indonesia haruslah mencerminkan konsepsi tersebut," katanya.
Meski tidak ada temuan naskah tentang teori ketatanegaraan tersebut, keterangan dalam prasasti Canggal, menyebutkan Raja Sanjaya sebagai Raghu telah menaklukkan raja-raja sekelilingnya.
Kerajaannya digambarkan sebagai dunia yang berikatpinggangkan samudera dan berdada gunung-gunung. Prasasti Canggal ditemukan di situs Gunung Wukir yang ada candi Siwanya.
Di lereng barat Merapi dulu hingga sekarang dialiri banyak sungai yang berhulu di gunung berapi aktif tersebut.
Juga ada sejumlah gunung kecil dan puncak-puncak perbukitan Menoreh di sisi barat memanjang ke selatan.
Petunjuk itu mengisyaratkan kedaton Raja Sanjaya pada abad 8 terletak di antara Yogyakarta hingga Magelang.
Epigraf Dr Riboet Darmosutopo menduga lokasinya ada di Medari, yang kini di atasnya berdiri pabrik kain mori dan batik.
"Itu perwujudan teori kosmogoni," terang mantan Kepala Balai Arkeologi Medan ini. Tahun 2010, Baskoro Daru telah melakukan survei awal dan test pit di dua lokasi tak jauh dari Candi Sambisari dan Candi Kedulan.
Ia lantas menunjuk dua bangunan Siwa itu memberi petunjuk menarik.
Bentuk arsitekturnya mirip, namun arah hadapnya bertolak belakang.
Kedulan menghadap timur, Sambisari hadap barat.
"Jarak antar candi diukur diagonal 2,3 kilometer. Apakah dua candi ini batas wilayah kedaton, ini yang akan kita buktikan," katanya.
Baskoro mendeskripsikan upayanya memecahkan teka-teki besar ini dengan membuat pola simetris menghubungkan empat titik menjadi kotak dengan dua candi sebagai titik sudutnya.
Candi Kedulan di sudut timur laut, dan Sambisari di titik sudut barat daya.
Kemudian situs Bromonilan di titik sudut barat laut, dan situs Dhuri di sudut timur laut.
Dihubungkan ke empat sudut itu membentuk kotak, dan jika dibuat garis diagonal, situs Balongbayen ada di tengah-tengahnya.
Kawasan yang jadi nominasi itu juga diapit dua sungai besar, Kali Opak di timur dan Kali Kuning di barat.
Di utara ada gunung Merapi, barat pegunungan Menoreh, selatan ada bukit Boko dan perbukitan Patuk.
Kemudian jika ditarik garis lurus persis di tengah kotak melintang dari barat ke timur, maka jauh di sebelah timur, Candi Prambanan tepat di tengah-tengah lintasan tersebut.
"Ini menarik," lanjut Baskoro yang akan melibatkan teknisi geolistrik pada penelitiannya nanti.
Kawasan di tengah-tengah kotak imajinatif setelah ditarik garis diagonal dari empat sudutnya, kira-kira di daerah Kujon atau Karangmojo Purwomartani, kini penuh permukiman baru.
Ada juga kolam peternakan ikan dan kebun tebu.
Lantas kedaton masa siapakah jika lokasinya di antara poros Sambisari dan Kedulan?
Merujuk petunjuk prasasti Tlu Ron, kandidat terkuat adalah pusat kerajaan Mataram masa Rakai Watukura Dyah Balitung (898 M s.d 911 M).(Tribunjogja.com)