Menguak Rahasia Prasasti Salimar

Jagal Pu Balahara dan Jejaknya di Kampung Sapen

Di kitab Negara Krtagama yang ditulis ratusan tahun sesudah era Mataram Kuno muncul istilah "samgat", menujuk pejabat penting di lingkaran inti raja

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumargo
Kawasan Museum Affandi di Papringan yang berada di sebelah barat Kali Gajah Wong. Ini sungai yang ada sejak ratusan tahun lalu dan abad 9 dinamakan Kali Ngambar 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Epigraf senior Dr Ribet Darmosutopo memastikan prasasti Salimar (I sampai VI) merupakan patok batas tanah sima (hutan) Salimar yang terletak antara Prambanan hingga Nanggulan.

Dari yang tertulis di prasasti, semua menunjuk penetapan terjadi pada 10 Oktober 880 Masehi.

Baca juga:

Dari petunjuk ini, maka kekuasaan masa itu di Mdang ri Bhumi Mataram ada di tangan Rakai Kayuwangi.

Nama lengkap sang penguasa ini saat marak jadi pemimpin adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi pu Lokapala Sri Sajjanotsawatunga (855-884 M).

Menurut Riboet Darmosutopo, Rakai Kayuwangi merupakan putra Rakai Pikatan.

Rakai Pikatan diyakini trah Sanjaya (Hindhu), menganut Budha, setelah menikahi Sri Kahulunan (Pramodhawardani), putri Raja Samaraungga. Candi Kalasan, Candi Plaosan Lor, Candi Sewu, adalah karya-karya hebat masa Rakai Pikatan ini.

Rakai Pikatan semasa memimpin bertahta di Poh Pitu (Mdan ri Poh Pitu). Tempat ini diyakini berada di Magelang.

Menurut prasasti Siwagrha (856 M), penerusnya, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala memindahkan pusat kekuasaan ke Mamrati (Mdan ri Mamrati).

Di mana Mamrati ini?

Kita akan baca petunjuk-petunjuk mengejutkan tentang letak ibukota Mataram Kuno ini di bagian lain tulisan ini, berdasarkan petunjuk yang diperoleh Riboet Darmosutopo.

Kembali ke soal Salimar, melihat angka tahun yang tertera di prasasti, maka dipastikan penetapan sima hutan Salimar itu terjadi di bawah pemerintahan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala di Mamrati.

Baca juga:

Masa kekuasaan Rakai Kayuwangi yang sangat panjang (29 tahun), Mdang Bhumi Mataram mengalami masa keemasan.

Kehidupan tertata baik, sektor pertanian menjadi tulang punggung yang memakmurkan rakyat maupun kekuasaan yang memimpinnya.

Ada banyak tanah kebun, hutan, tegalan, hutan dan padang rumput yang telah ditetapkan menjadi tanah sima, diubah menjadi sawah.

Padi menjadi komoditas utama yang ditanam, dengan produksi yang menakjubkan.

Bendungan atau waduk dibangun dengan irigasi yang diatur rapi (Prasasti Sumundul dan Pananggaran di Kedulan angka tahun 869 M).

Ada setidaknya 30 temuan prasasti yang dikeluarkan di era Rakai Kayuwangi.

Temuan terbaru adalah prasasti Kedulan ke-3, yang ditemukan pada September 2015.

Isi prasasti ini masih dalam proses pembacaan cermat oleh Riboet Darmosutopo dan tim ahli FIB UGM (Dr Djoko Dwiyanto dan Dr Tjahjono Edi.

Berdasar tesis (skripsi) Riboet Darmosutopo pada 1971, prasasti Salimar dan penetapan sima hutan Salimar dilakukan Sang Pamgat Balakas pu Balahara. Sosok ini diyakini tokoh penting pengambil keputusan yang memiliki kekuasaan di bawah Rakai Kayuwangi.

Rama (kepala desa) yang menyerahkan tanah sima ini adalah ramanta dari Desa Pakuwangi (patok Nanggulan) dan ramanta Desa Kandang (patok Demangan/Papringan/Prambanan).

Siapakah Sang Pamgat Balakas pu Balahara ini?

Para peneliti sejarah kuno Jawa menemukan istilah "pamgat" ada hubungannya dengan kata "pegat" yang bermakna putus. Sebagai subjek atau kata benda, biasanya pamgat ini harus didahului kata sandang "sang".

Lama-lama karena luluh dua kata ini kerap ditulis "samgat".

Di kitab Negara Krtagama yang ditulis ratusan tahun sesudah era Mataram Kuno juga muncul istilah "samgat", menujuk pejabat penting di lingkaran inti raja.

Di lingkungan desa juga dikenal tokoh yang bertindak sebagai "sang pamgat", yang bisa bertindak sebagai jaksa dan hakim guna memutus perkara-perkara penting.

Nah, di Desa Kandang itu erat kaitannya dengan Sang Pamgat Balakas atau Walakas.

Pamgat Balakas ini menurut prasasti Salimar (I, II, III), menunjuk orang yang bertindak sebagai jagal (pemotong hewan). Tugasnya menyediakan dan mencukupi kebutuhan daging untuk keraton. Jabatan itu diduduki orang bernama Balahara.

Dari prasasti Poh (827), Dang Nawi (833), Kasugihan (849), dan tentu saja Salimar (880), Desa Kandang adalah tanah lungguh untuk Sang Pamgat Balakas atau Walakas ini.

Jelas sudah sekarang, Desa Kandang itu letaknya ada di wilayah antara Prambanan hingga Demangan.

Riboet Darmosutopo meyakini wilayah Desa Kandang ada di sekitar Demangan saat ini. Beberapa toponimi yang tersisa yang ditafsirkan punya kaitan. Salah satunya Sapen (Kampung Sapen) di sekitar kampus UIN Suka sekarang ini.

"Sapen itu kira-kira tempat lembu atau sapi," kata Riboet.

Lantas apa alasannya Sang Pamgat Balakas Pu Balahara mendapat tanah lungguh di Desa Kandang?

Pertama, seseorang yang mendapatkan sima atau tanah perdikan, harus orang yang punya jasa besar bagi raja atau kerajaan.

Dilihat dari fungsi dan tugasnya yang harus mencukupi kebutuhan daging kerajaan, maka kesimpulan sederhananya, sima hutan Salimar diberikan karena tugas dan fungsi pu Balahara sebagai "tukang jagal" itu.

Konsekuensinya, pu Balahara wajib melakukan berbagai hal atas simanya di hutan Salimar. Yaitu memelihara dan mengatur tanah perdikannya. Termasuk soal penebangan dan perburuan hewan di dalamnya.

Sima atau tanah perdikan ini umumnya berlaku selamanya, ditandai pemasangan patok batas di semua sudut diagonalnya. Patok batas sebagai penanda itu minimal 4 buah yang disusukkan.

Ada juga yang menafsir sampai 8 titik. Sejauh ini hutan Salimar disusuk 6 patok pseudo lingga yang ada tulisannya.(Tribunjogja.com/xna)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved