Ternyata Begini Fakta Mengapa Dalang Ki Anom "Ngamuk" saat Pentas
Video utuh pentas Ki Anom Dwijo Kongko diunggah 23 November 2015, dan sudah ditonton 17.881 kali.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM,YOGYA - Potongan video dalang ngamuk yang viral ternyata penggal akhir rangkaian pentas wayang berdurasi 94,52 menit.
Video lemgkapnya bisa disimak di channel ISITV di You Tube. Video utuh pentas Ki Anom Dwijo Kongko diunggah 23 November 2015, dan sudah ditonton 17.881 kali.
Pertunjukan itu sesungguhnya biasa saja, normal sebuah pementasan wayang kulit bergaya Surakarta yang durasinya dipersingkat karena gelaran khusus siang hari
Mengambil lakon Gondomono Luweng, potongan video viral dalang ngamuk adalah penutup dari cerita pewayangan serbuan pasukan Astina ke Pringgondani.
Ujung serbuan itu salah satunya menyebabkan kematian istri Patih Gondomono.
Suman, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sengkuni menjadi tertuduh tragedi ini, namun tokoh licik itu mengelak. Ia justru menyalahkan istri Gondomono, yang membuat Gondomono mengamuk sejadi-jadinya.
Gondomono membanting Suman hingga tubuh sosok itu cacat, dan di situlah untuk mendramatisir adegan, Ki Anom Dwijo melarutkan diri terlibat dalam emosi Gondomono.
Sumpah serapah yang dilontarkannya ditujukan ke Suman, tokoh dunia pewayangan yang identik dengan watak culas, licik, penghasut di kubu Kurawa.
Nah, kata-kata "luwe" alias lapar yang dimunculkan Ki Anom sepertinya spontan karena pentas benar-benar sudah berakhir, dan sepertinya sang dalang memang haus dan lapar.
Tawa riuh dan tepuk tangan terdengar dari kalangan penonton, seperti puas menyaksikan aksi pentas dalang muda yang juga dosen pedalamgan di Akademi Seni Mangkunegaran (Asga) tersebut.
"Aja nggumunan aja kagetan. Dititi kanthi permati-diolak alik diselidiki diteliti konteks ipun" mugi2 kita sedaya mboten dados masyarakat ingkang kagetan.... Rahayu," tulis Achmad Mochi Mochi mengomentari postingan di grup FB Majapahit.
Di mata tokoh budaya Jawa, Sindung Tj, aksi pentas dalang seperti ini tidak menghormati karya seni dan pembuat wayang sebagai produk budaya adiluhung.
"Kangge kula, ngrisak ringgit yen mung isa tuku nanging ra isa nggawe, nggih degsiya... Yen nglampahi rekaose natah nyungging, mboten bakal tumindak ngaten," kata Sindung di sebuah forum diskusi tokoh DIY.
Menurut tokoh teater Yogyakarta, Whani Darmawan, pentas wayang yang diwarnai adegan kontroversial oleh dalang itu merupakan produk pragmatisme berkesenian di era industrialisasi.
"Lingkaran masalah ini ya kapitalisme dan populisme. Keduanya merangsek sektor ekonomi, merampas makna eksistensialisme. Jika tidak edan takut ndak terkenal. Tidak terkenal adalah periuk pecah. Pragmatis!" kata Whani. (*)