Sisi Lain Makam Banyusumurup
Awan Gelap dan Kilatan Petir Iringi Pemindahan Makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III
Dari kotak itu pula pada 1957, makamnya dibongkar dan kerangkanya dipindahkan ke Magetan.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
"Jadi ya saya ingat betul kejadiannya. Waktu pembongkaran itu musim kemarau, lha tiba-tiba kok langit hitam, awan bergulung-gulung, kilat nyamber-nyamber, trus hujan. Kami semua waktu itu takut," kenang Mbak Kardi.
Tak banyak warga dusun yang berani mendekat ke komplek makam. Pekerjaan pembongkaran dilakukan abdi dalem dan orang-orang keraton serta kerabat Raden Ronggo.
Sesudah pembongkaran selesai, menurut Mbah Kardi, reda juga lah hujan serta cuaca buruk. "Setelah kerangka dimasukkan peti, trus digotong menuju jalan dekat makam dusun di bawah sana. Waktu itu jalan ini masih setapak," jelas Mbah Kardi.
Jarak dari makam Banayusumurup hingga ke jalan di pintu masuk dusun sekitar satu kilometer. "Bisa dibayangkan jauh sebelum masa ini, atau awal-awalnya. Lokasi ini pastinya sangat terpencil dan sepi," lanjut pria yang punya 12 putra/putri ini.
Sesudah itu hingga sekarang, Mbah Kardi belum mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa aneh lain. "Sejak itu ya nggak ada yang aneh-aneh. Biasa saja kalau ada orang ziarah trus melihat penampakan sosok," katanya.
Tentang peristiwa di seputar pemindahan makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III juga diakui sekilas oleh abdi dalem dan juru kunci makam, Mugi Raharjo. "Ada memang peristiwa-peristiwa yang diyakini mengiringi pemindahan makam saat itu," kata Mugi.
"Namun persisnya apa saya sendiri tidak mengetahui karena saya masih kecil," lanjutnya. Peristiwa mistis lain, menurut Mugi, sepanjang bertugas sebagai juru kunci, ya biasa-biasa saja.
Episode Raden Ronggo Prawirodirdjo III ini cukup menyita perhatian sejarah modern Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Pembangkangannya berkelindan dengan makin kuatnya cengkeraman kolonialisme Belanda masa Daendels ke keraton, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.
Bersama Tumenggung Sumodiningrat, Raden Ronggo yang sama-sama menantu HB II, menjadi tokoh yang terlihat paling menentang Belanda. Di sisi lain ada Patih Danurejo II (menantu HB II juga) dan Putra Mahkota yang pro-Belanda.
Di kutub lain ada Sunan Paku Buwono IV dari Surakarta, yang terang-terangan bersekutu dengan Daendels, dan memiliki dendam pribadi kepada Raden Ronggo Prawirodirdjo III.
Posisi Sri Sultan HB II terjepit, dilematis karena Raden Ronggo menantu sekaligus salah seorang penasehat politiknya. Di sisi lain, ia mendapat tekanan hebat dari pihak Belanda.
Raden Ronggo menolak menghadap Daendels di Batavia. Pada 20 November 1810, ia pergi ke Madiun bersama 300 pengikut setianya. Itulah awal penanda perlawanannya kepada Belanda.
Ia memperkuat benteng di Maospati. Dukungan dan simpati datang dari berbagai elite Mataram, termasuk Bupati Panolan, Tumenggung Notowijoyo II, ayah mertua Pangeran Diponegoro.
Sultan HB II dalam tekanan Belanda akhirnya "mengirim" pasukan guna memburu Raden Ronggo. Namun demikian kenyataannya pasukan itu tidak berbuat apa-apa karena dilematis.