Penanda Wilayah Kabupaten Sleman Didiskusikan
Penanda yang dimunculkan nantinya merupakan sesuatu hal yang pernah ada dalam pengertian masyarakat sendiri.
Penulis: app | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Arfiansyah Panji Purnandaru
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Sampai saat ini, bisa dikatakan belum ada penanda menonjol di Kabupaten Sleman yang dapat memperkuat citra wilayah tersebut.
Oleh karenanya, bertempat di Bale Ayu, Focus Group Discussion (FGD) Kajian Penanda Kabupaten Sleman digelar, Jumat (8/12/2017).
Dalam diskusi tersebut hadir empat tim penyusun yaitu Romo Tirun (mantan Sekda Sleman), Eko Hadiyanta (BPCB Yogyakarta), Darto Harnoko (Balai Pelestari Nilai Budaya Yogyakarta) dan Sektiadi (FIB UGM).
Selain itu, turut hadir pula narasumber Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM Anton Damanik, Ketua Umum Forum Sialaturahmi Insan Pariwisata (Fosipa) Sarbini, dan instansi terkait.
Romo Tirun menjelaskan ada empat alternatif penanda yaitu monumen Ikon Salak besar di Lapangan Denggung, Tugu Salak di Kecamatan Tempel, Gapura di Kecamatan Gamping, dan Tugu Anoman atau Ramayana di Kecamatan Prambanan.
"Penanda sebetulnya ciri khas yang mestinya tidak ada ditemlat lain kecuali di Sleman. Seperti gajah, dulu ada di sini nanti bisa masuk sengkalan dalam gapura," jelas Romo Tirun.
Lanjutnya, penanda yang dimunculkan nantinya merupakan sesuatu hal yang pernah ada dalam pengertian masyarakat sendiri.
"Adapun keterangannya harus ada, terperinci lewat tulisan-tulisan yang ada agar mengerti," terangnya.
"(Contohnya) kaitannya dengan Anoman dan lain-lain itu kaitannya dengan Prambanan berfungsi tempat menyajikan ekspos Ramayana. Misalnya keterangan Gamping, sejarah Hamping luar biasa. Dulu pemasok pembangunan Keraton dari situ. (Tradisi) Bekakak, itu bisa di eksposkan lewat panel-panel yang ada," tuturnya.
Lanjutnya, untuk mendukung pariwisata juga diperlukan pemandu wisata yang paham dengan sejarah dan simbol-simbol dalam penanda tersebut.
"Wisata sangat tergantung pada guide. Kalau hanya mencari toko-toko untuk dapat persenan ya tidak sempat untuk menjelaskan suatu monumen sejarah dan simbol-simbol," pungkasnya.
Sementara itu, Sarbini menjelaskan terkait penanda tersebut perlu dilakukan kajian yang lebih komprehensif.
Satu di antaranya dengan mengajak ahli arkeolog dan sejarawan, yang mengerti akan tradisi. (*)
