Khasiat Kolang Kaling
Kolang-kaling, Terapi Alternatif untuk Atasi Penyakit Nyeri Sendi
Satu diantara manfaat kolang-kaling yang cukup populer adalah sebagai terapi untuk penyakit radang sendi lutut atau Osteoathritis (OA).
Pengobatan nyeri sendi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain mengonsumsi obat antiinflamasi (misalnya aspirin, ibuprofen, paracetamol atau tramadol).
Kemudian melakukan olahraga peregangan agar sendi tetap bergerak atau fleksibel, mengoleskan salep atau krim yang mengandung capsaicin, dan mengurangi berat badan. Bila keadaan bertambah parah, dokter biasanya akan menganjurkan operasi.
Konsumsi buah kolang-kaling dapat menjadi terapi alternatif jika ingin menghindari efek samping dari penggunaan obat-obatan kimia.
Menurut sebuah penelitian, buah kolang-kaling mengandung hingga 91,9% Karbohidrat, sebagian karbohidrat tersebut mengandung zat galaktomanan yang merupakan senyawa polisakarida yang berfungsi sebagai anti inflamasi atau peradangan.
Buah kolang-kaling dapat diolah dengan cara dibakar atau direbus.
Pilih buah yang masih setengah matang atau belum terlalu tua biasanya warna buah hijau segar, kemudian dibakar atau direbus untuk menghilangkan lendir yang dapat menyebabkan rasa gatal.
Tumpukkan buah aren ke atas api dan bakar hingga agak hangus namun biji tidak hangus, atau dapat juga direbus selama 1-2 jam lalu dinginkan.
Keluarkan biji buah menggunakan pisau, bersihkan, lalu rendam selama 2-3 hari. Setelah itu akan tampak hasil buah kolang-kaling yang putih bening.
Buah kolang-kaling ini dapat diolah menjadi produk makanan tanpa menambahkan pemanis buatan sehingga manfaatnya akan lebih maksimal.
Selain sebagai terapi radang sendi, kolang-kolang juga memiliki manfaat seperti memperkuat tulang dan gigi (kaya akan kalsium), menjadi makanan diet sehat karena mengandung serat yang tinggi, mencegah osteoporosis, mengobati asam urat, menambah stamina dan baik untuk kesehatan kulit.
Dengan kandungan gizi yang kaya akan manfaat, mulailah menjadikan kolang-kaling sebagai cemilan sehat di rumah. (*)

*Oleh: Delfince Tjenemundan - Dosen Biologi Universitas Kristen Tentena Sulawesi Tengah, Program Studi Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana