Benarkah Peta Klasik Ini Penyebab Pangeran Diponegoro Tertangkap Belanda?
Peta itu menyajikan gambaran wilayah Karesidenan Banyumas, Kedu, hingga Pacitan yang notabene merupakan daerah gerilya Diponegoro pada masa itu.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
Di antaranya, Sambiroto dan Rejoso yang dulu termasuk kampung besar dan jadi markas pasukan Diponegoro kini hanya jadi pedukuhan kecil di Nanggulan.
Demikian juga Semaken yang dulu jadi pusat perjuangan Diponegoro selama 1826-1828.
"Ketika saya mencoba mencari tahu dari masyarakat, mereka juga tidak banyak tahu. Lalu saya browsing dan menemukan peta lama yang mencakup nama-nama itu. Dari situ saya semakin tertarik mengoleksi peta zaman perang," kata Roni.
Dia kini memiliki 750 buah peta kuno dan belasan di antaranya merupakan salinan peta yang terkait dengan wilayah perang Diponegoro di sekitaran Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Salinan file peta didapatkannya dari Leiden dengan tebusan harga sekitar 30 Euro hingga 350 Euro per buahnya.
File tersebut lalu dicetaknya menjadi bentuk lembaran peta.
Selain peta De Stuers, salinan peta klasik lain yang dimilikinya antara lain peta bikinan Fd Cochius tentang wilayah Keraton Pkleret dan sekitarnya serta peta Baron Melvill van Carnbee tahun 1855 yang memuat penampang wilayah residen Kedu.
Juga, peta bikinan JJ Stockdale (5 Oktober 1811) yang menampakkan dua buah teluk di pesisir selatan Kulonprogo.
Pada perkembangan selanjutnya, teluk itu menutup dan berubah menjadi areal rawa seperti yang terlihat di peta bikinan Willem Orde (1825-1830).
Di peta ini pula, terlihat muara Sungai Bogowonto masih menyatu dengan Sungai Progo sedangkan Sungai Serang ada di antara keduanya.
Setelah perang Diponegoro usai, Belanda membelokkan Sungai Serang ke arah timur dan berbelok lagi ke barat sehingga bermuara di sekitar Pantai Glagah saat ini.
"Belanda saat itu memang cukup detil membikin peta. Bahkan, untuk wilayah Kebumen saja, ada 15 peta detail yang dibikin," kata Roni mengakhiri obrolan.(*)