Benarkah Peta Klasik Ini Penyebab Pangeran Diponegoro Tertangkap Belanda?
Peta itu menyajikan gambaran wilayah Karesidenan Banyumas, Kedu, hingga Pacitan yang notabene merupakan daerah gerilya Diponegoro pada masa itu.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Perang Gerilya yang dikobarkan Diponegoro dalam beberapa tahun harus berakhir tatkala dirinya ditangkap Pemerintah Hindia Belanda pada 28 Maret 1830 di Magelang.
Sekitar dua bulan sebelumnya, seorang perwira menengah militer kerajaan Belanda, De Stuers, berhasil menyelesaikan penyusunan peta terbaru yang lebih akurat merekam jejak gerilya sang pangeran legendaris dari bumi Mataram itu.
Peta bikinan De Stuers itu menyajikan gambaran wilayah Karesidenan Banyumas, Kedu, hingga Pacitan yang notabene merupakan daerah gerilya Diponegoro pada masa itu.
Peta bertarikh 31 Januari 1830 ini juga menyertakan lokasi sejumlah benteng pertahanan yang dibangun pihak militer Hindia di atas sejumlah area bekas basis perjuangan Diponegoro.
Benteng tersebut kemudian dijadikan gudang makanan sebagai bagian dari strategi Belanda melemahkan perlawanan Diponegoro.
Masyarakat sekitar benteng dirayu dengan makanan tersebut sehingga tidak ikut berperang bersama Diponegoro.
Pada akhirnya, jumlah pasukan Diponegoro semakin berkurang dan posisinya kian terdesak hingga berakhir dengan penangkapan.
"Dengan adanya peta De Stuers itu, pihak Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal de Kock bisa menempatkan pasukan secara tepat, mempersempit gerak pasukan Diponegoro yang juga bisa terbaca dari peta itu. Itulah siasat kontra gerilya yang ditempuh Belanda kala itu," kata Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi), Roni Sodewo di sela acara Gebyar Semaken di di Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo, Kamis (9/11/2017).
Patra Padi merupakan paguyuban para keturunan Diponegoro dan Gebyar Semaken digelar untuk peringatan 232 tahun kelahiran Pangeran Diponegoro yang dilahirkan pada 11 November 1785.
Semaken merupakan satu wilayah yang punya sejarah khusus dalam perang gerilya Diponegoro melawan penjajah Hindia Belanda.
Peta asli bikinan De Stuers tersebut kini tersimpan di Museum Leiden Belanda sebagai dokumen bersejarah namun Roni berhasil mendapatkan salinan resminya dan turut dipamerkan dalam Gebyar Semaken.
Roni yang juga keturunan ke-7 dari garis darah satu di antara anak Diponegoro yakni Pangeran Alip atau Bagus Singlon yang juga berjuluk Ki Sodewo itu memang gemar mengoleksi peta-peta kuno zaman peperangan Diponegoro.
Sudah sekitar setahun belakangan ia tertarik mengoleksi peta perang tersebut, menyusul kegemarannya mempelajari sejarah Diponegoro sejak belasan tahun silam.
Ia mempelajari sosok dan sejarah pahlawan nasional yang juga eyangnya sendiri dari Babad Diponegoro, literatur klasik yang ditulis sendiri oleh Sang Pangeran.
Dari kisah-kisah di dalamnya, ia mendapati sejumlah nama daerah besar yang dalam peta masa kini telah hilang atau menciut menjadi nama pedukuhan saja.
Di antaranya, Sambiroto dan Rejoso yang dulu termasuk kampung besar dan jadi markas pasukan Diponegoro kini hanya jadi pedukuhan kecil di Nanggulan.
Demikian juga Semaken yang dulu jadi pusat perjuangan Diponegoro selama 1826-1828.
"Ketika saya mencoba mencari tahu dari masyarakat, mereka juga tidak banyak tahu. Lalu saya browsing dan menemukan peta lama yang mencakup nama-nama itu. Dari situ saya semakin tertarik mengoleksi peta zaman perang," kata Roni.
Dia kini memiliki 750 buah peta kuno dan belasan di antaranya merupakan salinan peta yang terkait dengan wilayah perang Diponegoro di sekitaran Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Salinan file peta didapatkannya dari Leiden dengan tebusan harga sekitar 30 Euro hingga 350 Euro per buahnya.
File tersebut lalu dicetaknya menjadi bentuk lembaran peta.
Selain peta De Stuers, salinan peta klasik lain yang dimilikinya antara lain peta bikinan Fd Cochius tentang wilayah Keraton Pkleret dan sekitarnya serta peta Baron Melvill van Carnbee tahun 1855 yang memuat penampang wilayah residen Kedu.
Juga, peta bikinan JJ Stockdale (5 Oktober 1811) yang menampakkan dua buah teluk di pesisir selatan Kulonprogo.
Pada perkembangan selanjutnya, teluk itu menutup dan berubah menjadi areal rawa seperti yang terlihat di peta bikinan Willem Orde (1825-1830).
Di peta ini pula, terlihat muara Sungai Bogowonto masih menyatu dengan Sungai Progo sedangkan Sungai Serang ada di antara keduanya.
Setelah perang Diponegoro usai, Belanda membelokkan Sungai Serang ke arah timur dan berbelok lagi ke barat sehingga bermuara di sekitar Pantai Glagah saat ini.
"Belanda saat itu memang cukup detil membikin peta. Bahkan, untuk wilayah Kebumen saja, ada 15 peta detail yang dibikin," kata Roni mengakhiri obrolan.(*)