Catatan Pangeran Ini Beber Rahasia Jatuhnya sang Sultan
Catatan yang dibuat masih "draft" itu ditulis Pangeran Arya Panular, tokoh dekat Putra Mahkota yang kemudian jadi Sri Sultan HB III.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sebuah "catatan harian" menguak drama jatuhnya Sri Sultan HB II pada Juni 1812. Catatan yang dibuat masih "draft" itu ditulis Pangeran Arya Panular, tokoh dekat Putra Mahkota yang kemudian jadi Sri Sultan HB III.
Sejumlah penulis kemudian menyebut kronik berbentuk syair macapat itu sebagai Serat Ngengreng atau Babad Panular. Peneliti sejarah Dr Peter JR Carey mengungkap isi dan tafsir Babad Panular itu dalam buku terbarunya, "Inggris di Jawa: 1811-1816".
Sebagian cerita Babad Panular yang dramatis disampaikan Peter Carey saat trip sejarah di Alun-alun Selatan, Rabu (30/8/2017). Tak banyak peneliti sejarah yang memperhatikan cerita dalam karya Panular ini.
Naskah asli kronik itu kini tersimpan di British Library, London. Sesungguhnya Peter Carey telah mengungkap kisah ini dalam buku versi Inggris yang diterbitkan Oxford University Press pada 1992.

Kini dalam versi Indonesia yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, drama menggetarkan itu bisa dibaca secara lengkap. Konflik internal para bangsawan, keunggulan taktik dan senjata pasukan Inggris ketika menginvasi Keraton Yogya, keruntuhan moral prajurit Jawa, terpapar mendetail.
Menurut Peter Carey, catatan harian Arya Panular ini sangat layak dipercaya dan akurat. Penulisannya juga dilakukan dalam waktu yang berdekatan sesudah invasi Inggris. Kelemahan berbagai babad, umumnya ditulis jauh sesudah peristiwa terjadi.
Sehingga memungkinkan bias atau penambahan dan pengurangan fakta. Kerap pula dicampuradukkan antara mitos dan fakta. "Kronik ini dibuat mulai pengeboman Inggris pada 19- 20 Juni 1812 hingga 16 Mei 1816," kata Carey.
Tak lama sesudah itu, kekuasaan Belanda kembali mencengkeram Jawa. Catatan harian itu terdiri 182 folio, syair macapat ditulis dalam aksara Jawa dan tidak pernah direvisi. Diduga Panular menyusunnya khusus untuk Residen Yogya John Crafwurd dan dibeli British Museum pada 1824.
Bagi Carey, naskah ini luar biasa penting karena bisa memberikan pandangan tentang perspektif Jawa (Keraton) terhadap pasukan pendudukan. Penulisan sejarah Mataram, selama ini kerap mengutip versi penguasa pendudukan, yang tentu sudut pandangnya pasti disesuakan kepentingan mereka.
"Catatan harian ini benar-benar luar biasa, bisa diberi tanggal secara persis sesuai kejadian, dan ini jelas ditulis pada zaman yang sama dengan peristiwa yang menghindari ex post facto," kata Carey yang sejak tahun 70an meneliti sejarah Diponegoro dan masa sekitarnya.
Nah, dari kronik Arya Panular itu, manakah yang dramatis? Ada cukup banyak momen dramatis yang dicatatnya. Sebagai orang lingkaran dalam RM Surojo atau Sultan HB III (setelah dinobatkan Raffles), kesaksiannya mendekati sempurna karena ia pelaku sejarah, saksi mata, sekaligus yang meriwayatkannya.
Namun momen paling dramatis tentulah ketika Putra Mahkota yang kediamannya (Kadipaten) dihancurleburkan pasukan Inggris, ditolak masuk ke Bangsal Srimenganti, tempat ayahandanya, Sultan HB II bertahan di wilayah terdalam keraton.
Penolakan itu membuktikan betapa dalamnya pertikaian ayah dan anak itu di tahun-tahun kritis menjelang masuknya Inggris ke Jawa. Dalam kroniknya, Panular menulis, Putra Mahkota sampai di gerbang Srimenganti, namun dicegat Joyokusumo, kepala pasukan jaga.
Joyokusumo menyebut atas perintah Sultan, Putra Mahkota boleh masuk hanya bersama dua pengikutnya tanpa senjata. Mendengar kata-kata itu, Putra Mahkota naik pitam, ia menyuruh anaknya, Raden Ontowiryo (Diponegoro), mencabut keris.
Joyokusumo balik mencabut belati, siap meladeni tantangan. Akhirnya Putra Mahkota mereda amarahnya, memahami apa maksud ayahanda yang tega membiarkan dirinya tersia-sia, dan mengajak pengikutnya lari ke Tamansari melewati Suronatan.