Kisah Penjual Kue di Malioboro Lanjutkan Studi S2 ke China
dia berhasil masuk di jenjang S2 Antropologi Xuzhou Institute, China lewat jalur bea siswa yang digelar oleh pemerintah Cina
Penulis: sis | Editor: Iwan Al Khasni
Terbang ke China
Moch Zuber Syamsudin saat ditemui Tribun Jogja di kawasan pedestrian Malioboro pada Rabu (16/8/2017). Meskipun hanya berjualan kue nyatanya dia mampu meraih beasiswa S2 Antropologi ke China.
Kondisi ini tidak dikeluhkan Udin, sebaliknya ini sebuah kebanggan besar bagi seorang Udin yang datang dari background keluarga kurang mampu. Ayahnya yang hanya seorang tukang sapu jalanan berpenghasilan Rp 350 tentu sulit untuk mencukupi kebutuhan kedelapan putra-putrinya.
Kondisi keluarga yang sedemikian bukan malah diratapi Udin, sebaliknya itu dijadikan cambuk untuk menggapai mimpi untuk hidup lebih baik. Namun demikian untuk menggapai jutaan mimpi berbagai macam halangan mesti dilawan Udin.
"Orang tua saya sebenarnya melarang saya untuk melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Namun saya melawan, orang tua hanya bepesan kalau memang itu mimpimu sebagai orang tua hanya bisa mendoakan," kenang lulusan Antropologi Brawijaya Malang ini.
Setelah itu, kata Udin, dia mesti bertarung seorang diri mengumpulkan kepingan mimpi-mimpi besarnya. Sejak saat itu Udin memutuskan untuk berjualan apapun yang bisa dijadikan uang untuk membiayai pendidikannya di SMP.
Dari berjualan kapur barus, tambal panci keliling kampung hingga berjualan di pasar malam mesti dilakukan Udin.
"Sepulang sekolah saya harus berjualan tambal panci keliling kampung atau di keramaian pasar malam hingga larut malam. Kalau lelah ya tidur di pasar, hal itu setiap hari saya lakukan untuk bisa memenuhi kebutuhan saya," katanya.
Kondisi itu berlangsung hingga dia lulus dari bangku SMP. Namun demikian penderitaan tidak sampai di situ. Kesusahan kembali menghampiri kehidupannya saat dia duduk di bangku SMA.

Lagi-lagi orang tua melarang dia untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Jalan hidup bertambah pelik, manakala ayahnya meminta dia untuk berhenti sekolah. Padahal kata dia, baru delapan bulan dia menikmati bangku sekolah atas.
"Waktu itu tidak ada pilihan lain, selain menerima keputusan orang tuaku lagian saya juga tidak punya uang untuk bisa membayar sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujarnya.
Namun demikian, kondisi tersebut membuatnya berontak. Dia nekad untuk meneruskan sekolah, namun di sekolahan lain. Sempat ada masalah pelik yang mengintai, disaat dia sudah mampu melanjutkan sekolah, ibunya mendadak terkena penyakit keras.
Kondisi demikian membuatnya linglung, di satu sisi dia ingin melanjutkan sekolah, di sisi lain kondisi ibunya yang sedemikian membutuhkan biaya yang tak sedikit lantaran mesti mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
Namun didasari niat, kegigihan, dan keikhlasan yang kuat untuk mengejar mimpi, Tuhan memberikan secercah harapan.
"Alhamdulillah Ibu saya bisa sembuh, padahal waktu itu sudah kritis. Dan yang lebih membanggakan saya bisa menyelesaikan sekolah saya," katanya.
Setelahnya setapak demi setapak dia kembali menggapi mimpi besarnya. Udin memberanikan diri untuk melanjutkan studi di bangku kuliah.
Dia berhasil masuk ke Antropologi Universitas Brawijaya Malang lewat jalur bidik misi setelah sebelumnya terkapar di jalur reguler lantaran kekurangan biaya.
Namun demikian jalur menggapai sarjana antropologi tak selalu mudah. Lagi-lagi cobaan demi cobaan kembali menghadang. Masalah kesulitan biaya kembali mengemuka. Hal tersebut mengharuskan dia cuti dari bangku perkuliahan.

"Saat itu saya sedang menempuh semester 2, setelah UTS semester dua, saya memutuskan untuk meninggalkan Malang dan pending kuliahku sejenak selama 6 Bulan untuk bekerja di Indomaret," imbuhnya.
"Uang yang saya dapatkan dari gaji menjadi karyawan Indomaret, saya tabung dan allhamdulilah cukup untuk membiayai hidup saya di Malang dan melanjutkan kembali kuliahku hingga bisa lulus," tambahnya.
Meski demikian setelah lulus kuliah dia tak langsung bersantai-santai. Dia masih harus bergelut dengan dunia jualan keliling.
Setiap harinya dia berjualan setiap harinya dia berjualan kue basah keliling fakultas agar kebutuhan dia tercukupi.
"Setiap hari saya berjualan kue kelililing dengan mengunakan tupperware," katanya.
"Uang dari hasil julanku ku gunakan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari dan sisanya aku tabung untuk membiayai adekku sekolah, dan merenovasi rumah," tambah pria lahiran tahun 1993.
Berkat keuletan dia pula, saat ini dia berhasil masuk di jenjang S2 Antropologi Xuzhou Institute, China lewat jalur bea siswa yang digelar oleh pemerintah Cina. Dari mulai biaya kuliah, hingga biaya hidup sampai Udin lulus semua ditanggung pemerintah China.
"Saya hanya menanggung biaya medical check up aja," katanya.
Jalan hidupnya yang begitu penuh liku dan cobaan tak jarang Udin sering diundang menjadi pemateri di berbagai perguruan tinggi. Serta menjadi sosok Inspirator bagi mahasiswa UMM tempat dia berjualan kue setiap harinya.
Tidak hanya itu, dia juga berhasil menerbitkan novel pada tanggal 28 Maret 2017 lalu.
Kini Udin hanya tinggal menapaki beberapa keping mimpi-mimpinya yang diantaranya menjadi dosen antropoogi dan bisa membangun sekolah gratis bagi anak-anak Pasuruan.
"Saya juga pengin jadi motivator lewat kisah hidup saya ini," katanya singkat.
Dia pun banyak-banyak mengucapkan terimakasih kepada Direktur lembaga pendidikan desy Education Banyuwangi, Handoyo Saputro yang telah membantu dia membimbing dan mengantarkan dia mendapatkan beasiswa ke China.
"Terakhir buat teman-teman saya tetap semangat buat teman-teman 30 orang yang akan berjuang untuk studi di China," tutupnya. (TRIBUNjogja.com | Hening Wasisto)