ABY Usulkan Perumahan Buruh di atas Sultan Ground

Ia pun berharap pihak Keraton dan Kadipaten mengalokasikan sebagian tanahnya untuk dijadikan kawasan perumahan buruh.

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: oda
tribunjogja/agungismiyanto
ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Menggunakan Sultan Ground (SG) ataupun Paku Alam Ground (PAG) sebagai lokasi perumahan untuk para buruh di DIY, menjadi usulan Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY).

Hal tersebut didasarkan pada harga tanah dan juga rumah yang tidak terjangkau oleh kaum buruh yang memiliki penghasilan sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), yang mana UMP di DIY menjadi yang terendah se-Indonesia.

Wakil Sekjend ABY, Irsad Hadi Irawan menuturkan hal tersbeut dalam pertemuan antara perwakilan buruh DIY bersama Pimpinan DPRD DIY di Gedung DPRD DIY, Rabu (31/5/2017).

"Faktanya harga tanah terlalu mahal, sementara upah minimum terlalu murah. Jadi itu sebenarnya menurut kami terjadi pelanggaran hak atas perumahan. Pemerintah itu gagal memberikan rumah yang terjangkau bagi buruh dan masyarakat lainnya," urainya.

Irsad pun mengatakan, mencoba membuat terobosan karena program perumahan buruh yang dimotori Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BPJS Ketenagakerjaan, dan juga Kementerian Tenaga Kerja belum dapat dilaksanakan di DIY.

"Kami melihat ada Undang-Undang Keistimewaan yang mana salah satunya kewenangan dalam bidang pertanahan yakni SG PAG itu yang menurut undang-undang harus berfungsi sebagai kepentingan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan kemajuan budaya," terang Irsad.

Pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) DIY tersebut mencoba agar SG PAG bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Ia pun berharap pihak Keraton dan Kadipaten mengalokasikan sebagian tanahnya untuk dijadikan kawasan perumahan buruh.

"Tapi yang paling penting bagi kami, perumahan dengan status hak milik. Bukan sewa, karena kalau sewa sama saja, buruh tidak punya rumah. Masih tetap tunawisma," bebernya.

Sementara itu, Sekjend ABY, Kirnadi menuturkan bahwa harga rumah standar yang terjangkau oleh para buruh berada di rentang harga Rp 150-200 juta dengan cicilan per bulan Rp 500-700 ribu.

"Hari ini banyak pekerja muda yang hampir dipastikan jarang yang mempunyai tanah atau rumah di Yogyakarta ini. 10-20 tahun yang lalu, pekerja punya tanah atau rumah karena warisan orang tua. Tapi pekerja baru tidak punya tanah dan rumah," urainya.

Kirnadi menambahkan, di atas 50 persen buruh tidak memiliki tanah. Sekalipun mereka tinggal di rumah, itu karena mereka tinggal dengan orang tua dan bukan memiliki rumah pribadi.

Hal tersebut diungkapkannya karena upah buruh yang kecil sehingga sulit untuk bisa membeli rumah.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD DIY, Dharma Setiawan mengatakan bahwa kemungkinan besar Sultan bisa meminjamkan SG untuk perumahan buruh yang di sana nanti bisa dibangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) untuk para buruh.

Terkait rumah yang hak milik pribadi di atas SG, Dharma menegaskan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan. Pasalnya SG tidak diperjualbelikan dan memang tidak bisa untuk diperjualbelikan.

"Pemahaman saya, dengan Perdais (Tata Ruang) yang dibuat, Insya Allah di RTRW (rencana tata ruang wilayah), memungkinkan (perumahan buruh di atas SG). Kedua, dari karakter Ngarsa Dalem sendiri sangat memungkinkan. Pelaksanaannya ya sama-sama," tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved