Lipsus Penglaju Yogya Solo

Penglaju Puluhan Tahun Susuri Yogya-Solo

Biaya naik bus dari Yogya ke Solo sebenarnya tak terlalu terpaut jauh dengan kereta api. Ia memilih naik bus jurusan Surabaya.

Penulis: Rento Ari Nugroho | Editor: oda
Tribun Jogja/ Agung Ismiyanto
Ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Hubungan antara kota Yogya dan Solo tak hanya soal sejarahnya. Setiap harinya, ratusan bahkan ribuan orang bergerak di antara dua kota ini, sebagai penglaju.

Kebutuhan untuk bekerja maupun menuntut ilmu membuat mereka menyusuri berbagai moda transportasi yang ada.

Satu contohnya adalah Rizky Permana (27) yang beberapa bulan terakhir menglaju. Karyawan suatu perusahaan travel ini memang sedang menjajaki potensi bisnis yang ada di antara dua kota ini.

Nyaris setiap hari ia harus bolak-balik Yogya-Solo, menggunakan bus.

"Sengaja pilih bus karena dekat dengan tempat tinggal saya di sekitar terminal (Giwangan, red). Sebenarnya lebih enak naik kereta karena cepat. Namun, kalau harus ke stasiun lebih jauh, jadinya memang bus jadi pilihan," katanya dengan logat Sunda yang cukup kental kepada Tribun Jogja, belum lama ini.

Menurut Rizky, biaya naik bus dari Yogya ke Solo sebenarnya tak terlalu terpaut jauh dengan kereta api. Ia memilih naik bus jurusan Surabaya.

Untuk rute Yogya-Solo ia cukup membayar Rp 10 ribu. Sedangkan untuk tiket KA Prambanan Ekspress di rute yang sama berkisar Rp 8 ribu.

"Kalau naik bumel (bus lokal, red), saya belum pernah. Tahunya sih cukup mahal, ada yang bilang Rp 15 ribu. Karena itu saya milih naik yang Surabayaan aja. Waktu tempuh lebih cepat karena nggak banyak berhenti. Kalau berlangganan biasanya cukup bayar Rp 10 ribu saja," katanya.

Sementara itu, pengalaman berbeda dialami oleh penglaju yang memanfaatkan kereta api komuter Prameks. Ratusan orang yang setiap hari menglaju ini kemudian membentuk komunitas yang diberi nama Komunitas Penglaju KA Prameks (KPK).

Koordinator KPK, Noor Harsya Aryosamodro mengatakan, keberadaan penglaju di KA Prameks sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Bahkan, ada Pramekers (Sebutan untuk penglaju, red) yang telah menglaju selama lebih dari 20 tahun. Ia sendiri telah rutin bolak-balik Yogya-Solo selama sekitar 10 tahun.

"Kereta api memang menjadi solusi yang paling realistis untuk penglaju. Selain lebih cepat, efisien, secara biaya pun tak terlalu menjadi permasalahan. Hanya saja, standardisasi pelayanan, ketepatan waktu dan penentuan jadwalnya masih belum bisa diandalkan," katanya.

Harsya menjelaskan, permasalahan armada memang menjadi perhatian serius untuk ratusan anggota KPK. Seringkali KA Prameks mogok. Selain itu penentuan jadwalnya pun sering tak menguntungkan penglaju.

"Bayangkan saja, kalau sore, jadwal yang ada mulai pukul 15.00, kemudian baru ada lagi pukul 18.00. Buat penglaju ini sangat merugikan," katanya.

Setiap harinya, ratusan bahkan ribuan orang bepergian di antara dua kota besar di Jawa Selatan yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Sebagai dua kota yang berdekatan, dua kota ini tentu tak lepas dari perpindahan antar penghuninya yang terus berkembang setiap tahunnya.

Meski sudah tersedia berbagai moda transportasi, namun belum ada sistem transportasi massal yang terintegrasi berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.

Seperti yang digambarkan di atas, berbagai alat transportasi massal yang tersedia yang menghubungkan dua kota ini, di mata penggunanya belumlah ideal.

Baca: Organda DIY Berharap Pemerintah Subsidi Bus AKAP Yogya-Solo

Sejumlah permasalahan masih menjadi momok yang membuat sebagian orang enggan menggunakan kendaraan umum. Kendaraan pribadi pun menjadi pilihan untuk menunjang aktivitas.

Namun, menumpuk kendaraan pribadi di jalanan juga menjadi tabungan permasalahan.

Kapasitas jalan yang terbatas, dengan pertumbuhan jalan yang lambat sementara pertumbuhan kendaraan pribadi yang tinggi membuat kemacetan menjadi momok yang tak akan terhindarkan di kemudian hari. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved