Lipsus Penglaju Yogya Solo

Organda DIY Berharap Pemerintah Subsidi Bus AKAP Yogya-Solo

Kondisi angkutan antar kota di DIY dan Jateng terutama rute Yogya-Solo saat ini memerlukan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha.

Penulis: Rento Ari Nugroho | Editor: oda
Tribun Jogja/Khaerur Reza
ilustrasi bus 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kondisi angkutan umum untuk penglaju di Yogya-Solo memang belum ideal. Hal tersebut terlihat dari kondisi angkutan baik dari bus maupun kereta api.

Sejumlah persoalan menjadi tantangan untuk pengelolanya.

Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, Agus Adrianto mengatakan, mengenai kondisi angkutan antar kota di DIY dan Jateng terutama rute Yogya-Solo saat ini memerlukan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha.

Sebab, keberlangsungan transportasi ini memerlukan andil lintas pemangku kepentingan.

"Untuk transportasi darat utamanya bus di Yogya dan Solo ini sudah cukup lama ada, mulai sekitar 1951. Kemunculannya pun ada karena adanya pengusaha yang merintis pengangkutan. Kondisinya sekarang pengusaha mau diapakan dengan regulasi yang ketat serta adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM, red)?" katanya kepada Tribun Jogja, belum lama ini.

Menurut Agus, kondisi pengusaha sendiri sudah harus berjibaku dengan tipisnya margin keuntungan.

Dengan kondisi penumpang yang tak lagi tumbuh signifikan dan armada dibatasi, pengusaha hanya bisa bermain di margin 10-15 persen.

"Pelakunya sendiri pun sudah dibatasi. Saat ini bus yang berbasis di Yogya ada sekitar 50 bus, kalau untuk yang dari Solo kami tidak memiliki datanya," imbuhnya.

Sementara itu, lanjut Agus, kondisi armada bus untuk AKAP Yogya-Solo cukup beragam. Untuk armada yang berbasis di Yogyakarta sendiri malah memiliki regulasi yang lebih ketat.

"Untuk bus yang berbasis di DIY, regulasi lebih ketat dimana nilai perolehan armada bus maksimal 7 tahun. Hal ini berbeda dengan Jawa Tengah yang lebih longgar yang bisa lebih dari 7 tahun. Untuk yang 7 tahun tersebut nilai perolehannya sekitar Rp 500-600 juta. Nah, dalam 7 tahun itu pengusaha harus berpikir keras bagaimana memaksimalkannya," katanya.

Padahal, tingkat keterisian penumpang di rute ini menurut Agus tidak menentu. Misalnya saja untuk pagi dan sore cukup baik karena adanya aktivitas pelajar dan karyawan dengan okupansi sekitar 40 persen.

Sementara pada siang hari lebih sepi menjadi sekitar 20-25 persen saja.

"Tapi itu tak bisa dihitung secara keseluruhan karena masih pula harus berbagi dengan bus dari Surabaya," imbuhnya.

Tantangan lain yang harus dihadapi pengusaha bus, lanjut Agus, adalah keberadaan KA Komuter yakni Prameks.

Dengan harga tiket yang lebih murah karena mendapat subsidi dan waktu tempuh yang lebih cepat, pangsa pasar bus jelas tergerus.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved