Raperdais Tak Kunjung Disahkan, Para Dukuh Bingung Status Tanah Desa
Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten dibahas di DPRD DIY, muncul kekhawatiran di tengah pemangku desa.
Penulis: gil | Editor: oda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejak Undang-undang Keistimewaan (UUK) DIY disahkan, wilayah administrasi DIY menjadi wilayah istimewa.
Pun termasuk isinya, yakni tanah yang akhir-akhir ini menuai polemik dan kebingungan di tengah masyarakat.
Ketua Umum Paguyuban Dukuh se-DIY "Semar Sembogo" Sukiman Hawi Wijoyo mengatakan, sejak UUK disahkan dan Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten dibahas di DPRD DIY, muncul kekhawatiran di tengah pemangku desa.
"Pengalaman dari alokasi Danais selama ini, seolah-olah desa menjadi minoritas dan tidak mendapat tempat sehingga penguasaan atau sertifikasi Keraton atas tanah desa menimbulkan kebingungan bagi pemangku desa," ujar Sukiman pada Selasa (13/12/2016).
Ia berharap, dalam Raperdais yang sedang dibahas bisa diatur nomenklatur sertifikat tanah Keraton yang berada di pedesaan. Ia tidak masalah dengan sertifikasi Keraton terhadap tanah desa, asal memiliki peruntukkan yang jelas.
"Penamaan harus jelas, di desa mana, dan untuk apa? Jika sudah ada aturan yang jelas dari Raperdais kan perangkat desa tidak perlu takut, jadi ada pegangan yang jelas," tuturnya.
Penamaan dan sertifikasi yang jelas bisa menghindari penguasaan tanah dari oknum-oknum yang mengaku anggota Keraton. Ditambah, peraturan yang jelas bisa memberikan kebermanfaatan yang wajar dari tanah yang diklaim.
"Persoalan tanah memang rumit namun harus selesai dan jelas, jangan berlarut-larut," ungkap Sukiman.
Sebelumnya, Wakil Penghageng Tepas Tanda Yekti Keraton Yogyakarta, KPH Yudahadiningrat atau akrab disapa Romo Nur mengatakan, di lapangan sudah banyak orang-orang yang mengaku keturunan Keraton dan melakukan mengkavling tanah-tanah Sultan Ground (SG).
Laporan tersebut ia terima dan terjadi paling banyak di Gunung Kidul lalu di Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta.
Ia menegaskan kepada kepala-kepala dukuh atau desa untuk tegas menolak kehadiran para oknum yang mengaku anggota keraton dan melaporkan hal tersebut ke Keraton Ngayogyakarta.
"Ini liar sekali, banyak yang memanfaatkan keuntungan dari belum lahirnya Perdais, sehingga penting untuk segera disahkan," ungkapnya beberapa waktu lalu.
Sementara itu Asisten Bidang Keistimewaan DIY, Didik Purwadi mengatakan, untuk persoalan tanah ia belum banyak memberikan keterangan secara detail.
Masyarakat sebaiknya bersabar menunggu Raperdais ditetapkan, namun ia menegaskan bahwa raperdais tersebut bukan bentuk pengambilan alih tanah masyarakat.
"Pada intinya, tidak ada niatan untuk mengambil alih tanah. Soal aturannya, kita tunggu saja raperdais pertanahan disahkan," kata Didik. (*)