Festival Gejog Lesung Istimewa, Upaya Pelestarian Tradisi dan Budaya Masyarakat Agraris Yogyakarta
Kesenian tersebut kini sudah semakin menghilang seiring keberadaan lesung yang juga kian jarang digunakan petani
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Muhammad Fatoni
"Ada kepercayaan masyarakat dulu bahwa gerhana itu terjadi karena matahari atau bulan dimakan oleh buto (raksasa). Maka itu, ditabuhi gejog lesung supaya muncul kembali," tuturnya.
Dalam prakteknya, permainan gejog lesung dihadirkan membawa keceriaan bagi warga desa yang berkumpul. Selalu ada gelak tawa, canda, dan tembang-tembang penuh makna tentang kehidupan yang menyertainya. Ada suasana guyub khas masyarakat desa yang tercipta dari gejog lesung.
Sutini setuju jika nilai-nilai tradisi dan budaya ini terus dilestarikan. Hal itu pula yang mendasari warga dusunnya untuk membentuk grup kesenian gejog lesung sejak 2005 silam. Mereka berharap keguyuban dan keceriaan dari gejog lesung bisa terus terjaga hingga generasi masa datang.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono mengatakan, Festival Gejog Lesung Istimewa ini digelar untuk menggalii potensi kesenian hasil kearifan lokal tradisi masyarakat Yogyakarta. Di tengah arus globalisasi, potensi tersebut dinilainya sangat penting untuk dijaga.
Kesenian ini juga menjadi penegas bahwa masyarakat Yogyakarta, atau Indonesia pada umumnya, memiliki corak kultur agraris dalam kehidupannya. Secara lebih luas lagi, gejog lesung disebutnya memainkan peranan yang tidak kecil dalam upaya menjaga ketahanan pangan.
"Perlu perhatian khusus pada kearifan lokal supaya tidak terjadi keausan budaya dan reduksi nilai secara masif akibat globalisasi," katanya. (*)