Festival Gejog Lesung Istimewa, Upaya Pelestarian Tradisi dan Budaya Masyarakat Agraris Yogyakarta

Kesenian tersebut kini sudah semakin menghilang seiring keberadaan lesung yang juga kian jarang digunakan petani

Tribun Jogja/ Singgih Wahyu Nugraha
Penampilan warga Nitiprayan, Kasihan, Bantul dalam Festival Gejog Lesung istimewa di Gamping, Sleman, Jumat (9/9/2016) 

'Lesunge digejogke, guyonan tembangane
Dilaras suarane, gayenge dijogedke'.

SEBUAH tembang dalam bahasa Jawa mengalun lembut dari bibir dua perempuan paruh baya di atas panggung yang didirikan di areal persawahan Dusun Dukuh, Desa Banyuraden, Gamping, Sleman, Jumat (9/9/2016) sore.

Mereka bernyanyi ditingkahi bunyi ketukan kayu dari pukulan konstan di kayu besar berongga oleh sejumlah perempuan lainnya. Ketukan itu cukup tertatur, berirama dan membentuk nada tertentu.

Bunyi tersebut muncul dari sebuah lesung atau alat penumbuk padi tradisional yang dipukul (gejog) dengan alu. Itulah gejog lesung, permainan musik akustik yang kerap diperdengarkan oleh kalangan petani di desa pada zaman dulu.

Kesenian tersebut kini sudah semakin menghilang seiring keberadaan lesung yang juga kian jarang digunakan petani karena sudah tergantikan oleh mesin-mesin canggih.

"Sewaktu saya masih anak-anak, gejog lesung kerap dimainkan saat malam terang bulan. Saya dan anak-anak sebaya lainnya bermain di halaman dan menabuh gejog lesung sebagai hiburan," jelas Rubiyem (82), warga Nitiprayan, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul yang juga satu di antara penabuh lesung tersebut.

Rubiyem dan rekan grup kesenian Nitibudoyo saat ditemui baru saja selesa tampil sebagai pengisi acara Festival Gejog Lesung Istimewa yang digelar Dinas Kebudayaan DIY di Gamping. Ada sekitar 18 kelompok kesenian gejog lesung yang turut menyemarakkan acara tersebut.

Ingatan Rubiyem langsung melayang ke masa puluhan tahun silam saat dirinya masih berusia belasan tahun. Kala itu, media hiburan tentu belum secanggih sekarang ini. Bermain di luar rumah menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi Rubiyem dan teman sebayanya kala itu untuk menghibur diri.

Termasuk, bermusik dengan sarana lesung yang biasanya digunakan orangtua untuk menumbuk padi hasil panenan di sawah mereka.

"Dari umur 8 tahun saya sudah sering nuthuk (memukul) lesung. Bedanya, dulu tidak banyak tembang-tembang tapi jadi pengiring bocah dolanan (bermain). Permainannya macam-macam, di depan rumah biasanya berkumpul main," kata dia.

Kini, saat usianya sudah kepala delapan, dirinya bangga masih berkesempatan untuk turut nuthuk dalam kesenian gejog lesung. Apalagi, kesenian itu termasuk sudah semakin langka dan tidak banyak dimainkan generasi saat ini.

Di grup kesenian itu, dirinya masih memiliki rekan sepermainan sebaya serta beberapa perempuan lebih muda dari generasi sesudahnya.

"Memang sudah seharusnya yang muda yang nabuh," tukasnya.

Penabuh lesung lainnya, Sutini (58), mengaku masih ingat betul bagaimana ibu dan kakak-kakak perempuannya memainkan lesung semasa dirinya kecil. Kegiatan itu biasanya dilakukan untuk melepas lelah setelah seharian menumbuk padi di halaman rumah.

Selain saat malam terang bulan, gejog lesung sering diperdengarkan saat ada acara kemasyarakatan seperti perayaan kelahiran anak atau bahkan saat terjadi gerhana bulan dan matahari.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved