EthniCode: Terjemahkan Kode dalam Kain-kain Etnik
Kain Lurik yang selalu menjadi signature-nya, berpadu dengan Kain Tenun Troso Jepara, Tenun Goyor Sukoharjo, Tenun Tanimbar.
Penulis: Gaya Lufityanti | Editor: oda
Laporan Reporter Tribun Jogja, Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Setelah lima tahun tidak mengadakan show tunggal, kali ini desainer kawakan, Phillip Iswardono akan memperkenalkan rancangan terbarunya lewat tema EthniCode.
Terdiri dari dua kata, Ethnic dan Code, EthniCode berupaya untuk menerjemahkan kode-kode dalam kain-kain etnik Indonesia.
Dalam 94 outfit, Phillip masih menjaga konsistensinya untuk terus mengeksplor kain-kain nusantara. Kain Lurik yang selalu menjadi signature-nya, berpadu dengan Kain Tenun Troso Jepara, Tenun Goyor Sukoharjo, Tenun Tanimbar dan Batik Kelengan khas Yogyakarta.
"Kain Nusantara ini tidak ada habisnya untuk dieksplor. Terlebih, kini masyarakat Indonesia sudah sadar bahwa kain-kain ini sudah mengalami kemajuan dengan cantik, sudah berbeda dari era 1980-1990-an," ujar Phillip Iswardono.
Perancang menyeriusi Kain Lurik beberapa tahun terakhir ini mencoba untuk memberikan warna baru dalam berkreasi dengan gaya sarung.
Kreasi bawahan yang berbasis sarung pun mendominasi koleksinya tahun ini. Sarung dikreasikan agar lebih bervariasi, lebih edgy, modern dan muda.
"Jadi sekalipun basic-nya rok tapi itu adalah kreasi sarung," katanya. Tidak jarang, Phillip mengkombinasikan sarong ini dengan bahan brokat maupun furing.
Phillip membagi show tunggalnya dalam dua sequen, yakni tenun warna dan black and white. Warna merah, biru, putih, orange dan kuning menyemarakkan koleksi sequen warna.
Jika selama ini lebih menonjolkan Kain Lurik, kali ini Phillip menekankan penggunaan Kain Tenun lain dalam koleksinya.
Cutting asimetris, serta aksen draperi, lipatan masih mendominasi style-nya tahun ini. Rancangan pun dikemas dengan lebih bebas, loose, lebih longgar, tidak ketat dan nyaman.
"Dari cutting dan style, rancangan kali ini lebih playfull," jelasnya.
Tidak hanya dari cutting yang unik, Phillip juga menambahkan shaping menarik dalam busana kasual ready to wear. Soal ini, Phillip tertantang untuk selalu jeli dalam memadu padankan style dan warna kain.
Tidak jarang, Phillip bermain layering untuk memunculkan style kasual. Gaya tumpuk menjadi sebuah adventure tersendiri dalam memadu padankan dalam satu look, seperti sarung dipadankan dengan blus draperi dan di-finishing dengan outer, jacket atau vest.
Layering dan saling tumpuk yang lebih dari satu item menjadi kesatuan look ini menginsipirasi penggunanya untuk tampil cantik.
"Pelanggan bisa memilih atasan, jaket atau bawahan saja untuk dipadu padankan dengan busana lain," lanjut perancang yang koleksinya pernah dikenakan artis Dian Nitami, Anjasmara, Reza Rahadian, dan Marsha Timothy ini.
Kecenderungan sifat kain tenun yang tebal dan kaku, membuat perancang kadang kesulitan mengolahnya. Karena tidak semua style baju cocok diaplikasikan ke kain tenun.
Motif yang kaku juga menjadi tantangan tersendiri. Terkadang, motif terlihat bagus jika masih dalam satu lembar kain. Namun akan hilang karakter tenun dan motifnya saat kain tersebut dipotong.
"Inilah yang menjadi hal yang diwaspadai desainer lain, yakni mengolah kain tenun menjadi baju tertentu supaya tidak hilang karakternya," bebernya.
Untuk tema The Heritage dalam Jogja Fashion Week (JFW) 2016 kali ini, Phillip juga merancang beberapa batik. Selama berkarir sebagai fashion designer, Phillip memang tidak pernah menggunakan batik dalam rancangannya.
Namun kali ini, bekerjasama dengan perajin di Gedangsari Gunungkidul, Phillip merancang motif daun pisang. Motif ini muncul dari kekayaan alam yang ada di Gedangsari, dimana bambu, pisang dan sirkaya banyak dijumpai di sana.
Perancang yang mengidolai desainer Jepang, Yohji Yamamoto ini mengaku tidak mempunyai maksud dari angka 94 yang merupakan jumlah outfit yang diperagakannya kali ini.
Menurutnya, angka 94 ini tepat untuk show tunggal berskala besar dan tidak membuat penonton bosan.
"Show tunggal merupakan sebuah signature, presentasi dan jati diri seorang perancang busana. Dalam Show tunggal, biasanya 90 persen karyanya sempurna, sementara 10 persennya akan menjadi kritikan. Oleh karena itu, tiap pieces harus sempurna, lebih baik memaksimalkan kualitas daripada kuantitas," tegasnya. (*)