Tidak Ada Regenerasi, Penenun Lurik Tradisional Makin Berkurang
Merosotnya jumlah sumber daya manusia di kerajinan tenun lurik tersebut terjadi lantaran kurangnya regenerasi penenun dengan ATBM.
Penulis: ang | Editor: oda
TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Meski menjadi salah satu produk andalan di Kabupaten Klaten, namun eksistensi lurik tradisional khas kabupaten setempat mulai terancam.
Pasalnya jumlah penenun lurik yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) semakin berkurang.
Merosotnya jumlah sumber daya manusia (SDM) di kerajinan tenun lurik tersebut terjadi lantaran kurangnya regenerasi penenun dengan ATBM. Bahkan saat ini sebagian besar penenun memasuki usia lanjut, sementara bidang tersebut kurang diminati generasi penerusnya.
Sapto Aji, pengusaha tenun lurik tradisional di Pedan mengatakan saat ini tenaga penenun di tempatnya berusia di atas 50 tahun. Pekerja yang mayoritas perempuan tersebut sudah bertahun-tahun menggeluti profesinya sebagai penenun ATBM.
"Tenaga penenun sudah tua, sementara anak-anak tidak mau meneruskan. Bahkan diberikan pelatihan pun enggan," katanya, Minggu (7/8/2016).
Menurut dia, kondisi tersebut cukup menghambat industri tenun lurik tradisional. Pasalnya jumlah tenaga penenun semakin berkurang.
"Tahun 2006 (sebelum gempa DIY-Jateng) jumlah penenun yang ada di sini sekitar 100 orang. Saat ini hanya tinggal 25 orang," paparnya.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga penenun, di antara dengan menggelar pelatihan. Namun sebagian besar generasi yang lebih muda memilih bekerja di pabrik lantaran dirasa lebih menjanjikan.
"Saya juga berusaha mencari tenaga di sejumlah wilayah Klaten, namun yang ada (penenunnya) juga sudah tua-tua," ujarnya.
Meski kekurangan tenaga penenun, Sapto mengaku dirinya akan terus mempertahankan tenun lurik ATBM dan tidak beralih ke mesin.
Hal ini untuk mempertahankan lurik sebagai warisan budaya serta usaha tenun lurik ATBM yang sudah didirikan keluarganya sejak puluhan tahun lalu.
Usaha lurik ATBM yang dikelola Sapto merupakan usaha keluarga yang dirintis ayahnya, Rahmad, sejak tahun 1960-an dengan mengusung nama Sumber Sandang.
"Harus tetap dilestarikan agar jangan sampaizss tenun lurik tradisional punah. Tenun khas Klaten ya yang menggunakan ATBM," kata putra ke-7 dari pengusaha tenun lurik tradisional itu.
Minimnya minat generasi muda untuk menjadi penenun tradisional ini juga diakui Sandiyo, pengusaha lurik di Delanggu. Ia menilai kondisi ini dipengaruhi penghasilan yang didapatkan sebagai penenun tradisional lebih sedikit dibandingkan bekerja di pabrik.
"Belum lagi, menenun dengan menggunakan ATBM itu lebih rumit dan membutuhkan ketelatenan. Dengan kondisi ini, lebih banyak yang berminat jadi buruh pabrik dibandingkan penenun lurik," ungkapnya.