Perang Jawa, Jalan Sunyi Pangeran Menuju Transendensi
Kamis 21 Juli 1825, Diponegoro dan pamannya tiba di Selarong, Bantul. Di sana, di sekitar gua tempat putra mahkota keraton ini kerap bersemadi dalam
Penulis: Hendy Kurniawan | Editor: Iwan Al Khasni
Diponegoro dan Selarong
Keesokan hari, Kamis 21 Juli 1825, Diponegoro dan pamannya tiba di Selarong, Bantul.
Di sana, di sekitar gua tempat putra mahkota keraton ini kerap bersemadi dalam kesenyapan, mereka menancapkan panji-panji pertempuran yang berlangsung lima tahun lamanya.
Sejarah mencatat, pertempuran ini menguras banyak pundi-pundi keuangan Belanda.
Sekitar 200 ribu orang jawa menjadi korban, pun memengaruhi kehidupan di lain hari jutaan orang lainnya.
Hampir dua abad kemudian, eksistensi negara yang pernah diperjuangkan Diponegoro terasa masih cukup sumir di tengah derap hikayat dunia yang semakin getir.
Jika dulu bangsa Eropa yang akrab disebut dengan istilah 'landa' adalah musuh bersama, kini tak jarang musuh itu adalah saudara sebangsa.
Perjuangan berebut periuk nasi dari skala terkecil di pinggir jalan, sampai eskapisme ala kaum elite dengan berbagai gemerlapnya menjadi mafhum dipertontonkan, diperdengarkan, diperbincangkan.
Diponegoro, yang berjuang tak jauh dari tanah kita berpijak sekarang, sudah mengajarkan jalan sunyi menyingkir dari duniawi demi harga diri bersama kaum papa, juga ulama.
Entah itu berlatar politis, tradisi, atau perihal transendensi. (hendy kurniawan)