Hobi Olahraga Dirgantara di DIY
Harga Pesawat Ini Ternyata Tidak Semahal 'Moge'
Pesawat-pesawat dengan berbagai corak warna itu bukanlah milik TNI AU, namun miliki pribadi.
Penulis: dnh | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Deretan pesawat ultralight terparkir rapi di hanggar FASI (Federasi Aero Sport Indonesia), saat Tribun Jogja mengunjungi hanggar yang berada di kompleks Lapangan Udara (Lanud) Adisutjipto, Sleman, belum lama ini.
Pesawat-pesawat dengan berbagai corak warna itu bukanlah milik TNI AU, namun miliki pribadi.
Ada dua jenis pesawat yang terparkir di hanggar yang berada di sebelah selatan runway ini, yakni pesawat jenis fleksibel wing dan fix wing.
Salah satu pemilik pesawat tersebut adalah Candra Agus, pemilik pesawat fix wing bernama City, Agus sendiri adalah ketua dari Jogja Flying Club (JFC).
Saat ditemui Tribun di kediamannya di Klaten, Jawa Tengah, ia menceritakan bahwa hanggar tersebut adalah garasi pesawat para anggota JFC yang berada dibawah payung FASI.
“Hanggar dipinjamkan untuk dipakai, semi permanen, sudah dipakai, sudah menjadi hanggar FASI,” ujarnya.
Isi dari hanggar tersebut dapat menjadi gambaran bagaimana antusiasnya penggemar maupun penghobi olahraga dirgantara itu di wilayah DIY dan sekitarnya.
Ratusan hingga miliaran rupiah rela digelontorkan untuk membeli unit pesawat yang kapasitasnya hanya dibatasi untuk satu pilot dan satu penumpang ini.
Seperti pesawat milik Agus, pesawat type SW atau Short Wing berwarna putih buatan Jerman ia tebus pada tahun 2006 seharga Rp 1,25 miliar. Pesawat tersebut daya jelajahnya bisa kurang lebih mencapai 2000 kilometer.
“Saya lupa persisnya, cuman rupiahnya 1,25 M. Kalau sekarang harga di sana sendiri sudah berkisar 125 ribu euro. Harganya disana, belum transport belum masuk macam-macam,” ujar pria pengusaha ini.
Agus pernah memiliki lima pesawat, satu jenis fix wing dan empat pesawat trike, yang masuk jenis fleksibel wing. Namun saat ini, hanya tinggal satu pesawat yang ia miliki, sedangkan empat trike miliknya sudah ia jual.
“Sudah lama saya jual, saya belum beli lagi,” katanya yang sudah sejak kecil senang dengan dunia penerbangan, dan beberapa jenis cabang aero sport pernah ia geluti.
Terkait dengan anggapan masyarakat bahwa olahraga dirgantara termasuk ultralight yang ia geluti adalah olahraga yang mahal dan hanya untuk segmen tertentu, pria asli Klaten ini menampiknya dan perlu untuk diluruskan.
Untuk pesawat ultralight, menurut Agus bisa ditebus seharga satu buah mobil.
“Harga pesawat ada yang murah, mungkin 150 juta, bekas. Itu tidak banyak diketahui orang, mungkin dibayangan mereka mahal, berapa miliar,” terang Agus.
Meski begitu, memang ada pesawat yang cukup mahal. Menurutnya paling mahal pesawat ultralight berharga sekitar 150 ribu euro. Harga tersebut adalah harga di Eropa dan belum termasuk biaya untuk membawanya ke Indonesia.
“Itu harga disana, kalau masuk dikalikan dua, 300 ribu euro. Kalau di atas itu (di atas ultralight) lebih mahal lagi,” katanya.
“Lebih mahal mainan moge, jauh, moge mahal sekali, kalau ini nggak,” lanjutnya.
Sementara untuk perawatan cenderung murah, juga untuk bahan bakar yang digunakan adalah pertamax plus.
Menurutnya setiap satu jam, hanya membutuhkan bahan bakar sebanyak 15 liter. Sehingga Agus mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah mengkampanyekan bahwa olahraga dirgantara bukan olahraga yang mahal. (*)