Jalan Sepi Pak Sur Menekuni Sastra Jawa
Meskipun memeroleh uang pensiunan dari statusnya sebagai guru, namun ia mengaku masih sempat macul (bertani) di dua lahan sawah.
Penulis: pdg | Editor: oda
Di sebuah meja besar, yang bersanding dengan dipan, almari dan sebuah rak buku, ia mengaku sering lupa akan waktu, ketika menulis.
"Tidak ada waktu khusus untuk menulis, siang seperti ini kalau lagi ada ide saya ya langsung menuangkannya ke secarik kertas, sampai semuanya tercurah atau kalau capek ya berhenti. Kadang sampai jam dua pagi," katanya.
Disinggung masalah ide, ia mengatakan semuanya didapatnya dari hasil perenungan ketika dirinya melihat realitas di sekitarnya.
Ketika selesai dengan tulisan tanganya, ia lantas membawa kertas-kertas itu menuju sebuah tempat pengetikan di Desa Karanganom, Kecamatan Karanganom.
Disana Pak Sur mengaku sudah memiliki tukang ketik komputer langganan yang dipercaya menyalin karyanya.
Baru kemudian, naskah-naskah tersebut dikirim ke redaktur majalah berbahasa Jawa.
Pak Sur tidak menampik akan realitas lesunya sastra atau budaya Jawa. Namun demikian, ayah empat anak itu yakin suatu saat bangsa Indonesia akan kembali pada nilai tradisi ketimuran.
"Saya simpulkan hal itu berkaca pada negeri Jepang. Mereka dulu sempat haus akan teknologi dan budaya barat, akan tetapi tak lama setelahnya mereka akan menyadari bahwa budaya milik diri sendiri tetaplah harus dilestarikan. Indonesia, khususnya Jawa juga akan begitu. Namun saya tidak tahu kapan itu terjadi, dan apakah saya bisa melihatnya saya tidak tahu," ungkap Suryadi Warno Sukarjo, yang baru merayakan ulang tahunyya ke 77, 25 November lalu.
Kepada generasi muda, ia kemudian memberikan wejangan agar bangga terhadap kebudayaan sendiri. Hal itupun dapat diterapkan dalam karya sastra.
Pak Sur mengaku membaca semua karya sastra dari dalam maupun luar negeri, namun ia mengatakan tidak memiliki pengarang idola.
"Jangan meniru orang lain, karena apa yang menurut seseorang itu baik belum tentu berlaku demikian bagi diri sendiri. Kalau cerita dari luar negeri macam pengarang Ernst Hemingway, Leo Tolstoy, saya membacanya, tapi saya ingin lebih dari mereka. Membuat cerita sendiri sesuai apa yang saya lihat di masyarakat dan renungkan lalu menulisnya sesuai kaidah orang Jawa yang penuh dengan bahasa simbol atau pasemon," katanya. (tribunjogja.com)
