Jalan Sepi Pak Sur Menekuni Sastra Jawa

Meskipun memeroleh uang pensiunan dari statusnya sebagai guru, namun ia mengaku masih sempat macul (bertani) di dua lahan sawah.

Penulis: pdg | Editor: oda
tribunjogja/padhangpranoto
Suryadi WS, sosok pengarang sastra Jawa yang konsisten berkarya hingga diusianya ke 77 tahun. Kini ia tinggal di Dusun Mireng Lor, Desa Mireng, Kecamatan Trucuk-Klaten, Minggub(29/11). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Padhang Pranoto

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Suryadi WS, tak banyak orang yang mengenal sosok pengarang ini. Namun ditengah lesunya susastra Jawa, pria 77 tahun ini tetap konsisten menyajikan romantisme dan budaya berbalut religiusitas Islam dalam bentuk cerkak, cerbung atau novel berbahasa Jawa.

Karyanya seperti Sintru oh Sintru, Serigala, Penganten dan Pusaka terlahir dari sebuah kamar sederhana yang berada di rumahnya Dusun Mireng Lor, Desa Mireng, Kecamatan Trucuk-Klaten.

Berkunjung ke rumahnya, sebuah kotak surat lawas bertuliskan Suryadi WS seolah menyambut pewarta Tribun Jogja, Minggu (29/11/2015).

Begitu mengucap salam, sang empunya rumah kemudian mempersilakan duduk di sebuah kursi dari kayu jati. Tak beberapa lama, Pak Sur lantas memberikan jabatan erat dan mulai bercerita tentang proses kreatifnya.

"Saya ini dulunya seorang guru dengan status pegawai negeri namun mengajar di SMEA Muhammadiyah Klaten. Kini setelah pensiun sejak tahun 2000, saya masih aktif menulis. Bahkan cerita bersambung (cerbung) saya berjudul Mulih nDesa masih terpacak di sebuah majalah berbahasa Jawa," katanya.

Meskipun memeroleh uang pensiunan dari statusnya sebagai guru, namun ia mengaku masih sempat macul (bertani) di dua lahan sawah yang kini siap ditanami padi.

"Ya untuk mengimbangi saja, bekerja di sawah agar tak terjangkit penyakit. Kalau menulis sebagai sarana melatih otak agar tidak pikun," tambahnya.

Pak Sur mengaku, kegiatannya dalam tulis menulis sastra Jawa dimulai pada saat usianya 19 tahun. Ketika duduk di bangku SMA I Solo, ia mengirimkan dua buah cerpen ke majalah kekasihku.

Begitu termuat, ia menyadari ada bakat menulis yang diturunkan dari sang ayah Warno Sukarjo yang kala itu sangat menggemari dunia sastra Jawa Klasik.

Hal itu disadarinya juga karena semenjak SMA hingga kuliah, ia mengaku tidak pernah mengenyam pembelajaran sastra. Pada saat itu ia mengambil jurusan ilmu pasti alam di sekolah menengah, dan melanjutkan ke sekolah tinggi kesehatan jurusan sanitasi.

Semenjak itu, ia mulai berani mencoba mengikuti berbagai sayembara penulisan sastra Indonesia ataupun Jawa.

Beberapa kali ia sempat menjuarai dua kategori lomba tulis menulis itu. Namun kehendak hati menuntun Pak Sur menyelami Sastra Jawa lebih dalam.

"Meskipun honornya lebih tinggi mengarang sastra Indonesia, namun saya lebih tertarik mendalami dan menekuni Sastra Jawa. Dulu saya pernah nulis cerpen berbahasa Indonesia diberi honor Rp 300, sementara yang berbahasa Jawa hanya Rp 70, namun karena saya lebih senang nulis Jawa, makanya saya tekuni sampai sekarang," imbuhnya.

Setelah bercerita tentang masa awal kepenulisannya, Pak Sur kemudian berkenan menunjukan ruang kreatifnya. Lalu ia mengajak pewarta Tribun Jogja menengok kamar berukurang 5 x 8 meter tempatnya berkreasi.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved