Pengusaha Hotel Merasa Aman Jual Minuman Beralkohol
Adanya Perda tersebut memberikan kepastian hukum bagi para pelaku industri pariwisata. Para pelaku usaha pariwisata mendukungnya.
Penulis: had | Editor: oda
Laporan Reporter Tribun Jogja, M. Nur Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meyakini pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (mihol), serta Pelarangan Minuman Oplosan, tidak pengaruhi kunjungan wisata.
Sebaliknya, menurut Ketua BPD PHRI DIY, Istidjab M Danunegoro, justeru adanya Perda tersebut memberikan kepastian hukum bagi para pelaku industri pariwisata.
Para pelaku usaha pariwisata mendukung pelaksanaan peraturan baru Pemda DIY tersebut.
Ia mengatakan, adanya Perda yang sudah disahkan pada 30 September lalu, bahwa penjualan mihol hanya boleh di hotel berbintang mulai bintang tiga, empat, dan lima ke atas.
Atau penginapan yang memiliki jumlah pengunjung pertahun lebih dari lima ribu orang, tidak ada masalah.
Begitupula aturan bahwa selain hanya boleh dijual di hotel dan penginapan dengan klasifikasi tertentu, mihol juga hanya boleh diminum langsung di tempat atau di kamar hotel, dan tidak boleh dibawa keluar hotel.
“Biasanya, kan pengunjung yang rata-rata wisatawan asing, minum itu sambil bersantai menikmati sajian musik di hotel. Jadi tidak masalah adanya aturan itu,” katanya, Rabu (14/10).
Adanya Perda itu, lanjutnya, juga memberikan jaminan bagi pelaku usaha untuk dapat menjual mihol. Sementara mengenai minuman oplosan, hal itu tidak berpengaruh bagi pelaku industri pariwisata.
“Karena oplosan kan tidak bakal masuk di hotel dan restoran. Yang bahaya justeru di warung-warung kecil itu, kan susah dikendalikan. Kalau kami kan ada izin dari PPBKC (Pokok Pengusaha Barang kena Cukai),” katanya.
Istidjab menjelaskan, kalangan perhotelan bintang tiga keatas, yang hendak menjual mihol harus menyediakan tempat khusus. Juga harus memiliki Nomor PPBKC yang pengurusanya harus diurus ke Direktorat Bea dan Cukai.
Tempat untuk minumnya pun harus mengantongi izin gangguan (HO) serta surat izin usaha perdagangan (SIUP) khusus. “Kalau tidak ada izinnya itu dendanya enggak main-main Rp 20 juta,” ujarnya.
Mengenai dampak kunjungan wisata, menurut Istidjab tidak akan berpengaruh terhadap penurunan kunjungan wisata, terutama mancanegara. Sebab dalam aturannya, mihol masih tetap diperbolehkan dijual di hotel.
“Wisatawan asing kan masih bisa mengonsumsi minuman beralkohol. Terlebih minuman beralkohol kan menjadi kebutuhan bagi mereka,” ungkapnya.
Huda Tri Yudiana yang sebelumnya menjadi Ketua Panitia Khusus Perda tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol serta Pelarangan Minuman Oplosan, mengatakan, setelah disahkannya Perda ini maka Pemda harus segera menindaklanjutinya.
Di antaranya kebijakan penganggaran untuk pengawasan dan pengujian minuman beralkohol pada APBD tahun 2016.
Sebab dalam Pasal 15 di Perda ini, harus dilakukan pengujian terhadap minuman beralkohol yang beredar di pasaran secara legal, untuk melihat apakah ada penyimpangan kadar etanol.
Pengujian ini dilakukan oleh instansi yang berwenang melakukan pengawasan obat dan makanan, atau institusi yang memiliki sertifikasi untuk pengujian.
Pengujian dilakukan secara rutin, insidentil (sidak), dan apabila ada laporan dari masyarakat.
“Pengujuan rutin dilakukan minimal tiga bulan sekali. Pengujian ini menggunakan biaya yang dibebankan kepada APBD DIY dan atau APBD kabupaten/kota,” jelasnya.
Kemudian Pasal 40 juga diatur pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, serta penjualan minuman beralkohol. Termasuk dalam hal ini penegakan peraturan tentang Pelarangan Minuman Oplosan.
Pengawasan tersebut dilakukan oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya.
“Pasal tentang pengujian dan pengawasan ini sangat penting agar Perda ini efektif berlaku dan tidak sekadar menjadi macan kertas. Maka penganggaran dalam APBD juga sangat penting,” katanya.
Selama ini, imbuhnya, di DIY belum pernah ada anggaran untuk pengujian dan pengawasan terhadap peredaran mihol dan pelarangan minuman oplosan.
Sehingga instansi terkait kurang efektif melakukan kegiatan pengujian maupun pengawasan. (tribunjogja.com)