Polemik Sabdaraja
Sultan Emoh Tanggapi Tiga Usulan Rayi Dalem
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, tidak mau menanggapi mengenai tiga opsi rayi dalem
Penulis: had | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, tidak mau menanggapi mengenai tiga opsi yang akan diberikan para Rayi Dalem terhadap dirinya. Sultan memilih tidak mau berkomentar.
“Wes ora usah ditanggapi saja,” katanya saat ditemui di gedung DPRD DIY, Selasa (16/6), sambil mengangkat kedua tangannya seraya berjalan menuju mobil dinas Gubernur DIY, Toyota Fortuner bernopol AB 10.
Sementara itu, salah satu Rayi Dalem, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat, saat ditemui di tempat yang sama, mengatakan, dirinya belum bersedia mengungkapkan apa langkah yang akan ditempuh jika nantinya Sultan tidak menggubris tiga opsi yang diusulkan.
“Yan nanti saja, ojo diajari dulu,” ujarnya.
Namun ia menjelaskan, tiga opsi tersebut nantinya akan disampaikan secara tertulis. Di dalamnya, juga akan diberikan batasan waktu pada Sultan untuk menentukan pilihan dan tanggapan secara resmi.
“Nanti dari suratnya itu paling tidak ada waktu limitnya. Jadi tidak hanya tiga opsi milihnya sesukanya, dan balesnya kapan,” katanya.
Menurutnya, jika tidak ada tanggapan atas opsi yang ditawarkan para rayi dalem, maka efeknya akan semakin membesar.
Karena masyarakat selama ini terus memberikan perhatian mengenai polemik di Keraton.
“Nanti langsung berhadapan sama masyarakat. Kan Keraton Yogyakarta tidak hanya milik intern saja, tapi juga luar (masyarakat). Sekarang kan orang-orang hanya pekewuh saja,” kata Gusti Yudho.
Sebelumnya, para rayi dalem telah membentuk tiga opsi pilihan yang akan diusulkan pada Sultan.
Pertama, Sultan diminta kembali pada paugeran dengan kembali pada gelar sebelumnya atau mencabut Sabdaraja. Maka konflik akan segera diakhiri dan saling memaafkan.
“Kedua, diminta untuk menjadi Kyai Ageng, atau meninggalkan keduniaan dan hanya mengabdi pada Tuhan,” katanya.
Ketiga, lanjut Gusti Yudho, jika masih belum kembali pada paugeran. Maka diminta untuk mendirikan keraton sendiri. Karena Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan warisan leluhur dari trah Hamengku Buwono.
Adapun sikap para rayi dalem tersebut masih dilakukan kajian pada para pakar hukum.
Baik hukum positif tata negara maupun hukum adat. Setelah kajian tersebut selesai, maka hasilnya akan langsung diserahkan secara resmi ke Sultan.
"Kita tidak mempermasalahkan masalah suksesi. Tapi trah Hamengku Buwono meminta Sultan kembali ke khitahnya," katanya.
Menurutnya, Keraton Yogyakarta memiliki pengalaman seputar suksesi salah satunya pada masa Sultan HB VII.
Saat itu, HB VII mewariskan tahta ke puteranya yang pertama, namun ternyata putera keempat yang baru berhasil menjadi Sultan.
GBPH Prabukusumo menegaskan, sikap dari para rayi dalem yang kedua tersebut, dimaksudkan supaya Sultan dengan Sabdarajanya, dapat dilaksanakan terhadap dirinya sendiri.
"Ngarso Ndalem meninggalkan Pesanggrahan. Mau dimana silakan," kata Gusti Prabu.
Pilihan meninggalkan pesanggrahan, lanjutnya, juga sudah pernah dicontohkan oleh HB VII, dimana saat itu HB VII merasa tidak mampu mengemban amanah karena alasan kesehatan.
HB VII pun menunjuk penggantinya, kemudian meninggalkan Keraton dan menempati pesanggrahan di Ambarukmo.
Adapun tiga sikap tersebut, imbuh Gusti Prabu, semata untuk mempertahankan paugeran Keraton.
Karena keberadaan institusi Keraton telah dijadikan sebagai warisan budaya dan dilindungi oleh Undang-undang. (tribunjogja.com)