Tradisi Saparan Bekakak Simbol Kesetiaan Berbangsa Zaman Kini

Bekakak merupakan wujud sepasang manusia yang merupakan gambaran wujud Ki Wirosuto dan istrinya yang setia menjaga Gunung Gamping.

Penulis: app | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Arfiansyah Panji
Upacara tradisi Saparan Bekakak 2017 di Lapangan Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping berlangsung meriah, Jumat (3/11/2017). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Arfiansyah Panji Purnandaru

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Siang itu matahari serasa enggan bergeming, panas teriknya menyengat kulit ribuan penonton upacara tradisi Saparan Bekakak 2017 di Lapangan Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Jumat (3/11/2017).

Namun situasi tersebut tidak menyurutkan animo penonton.

Upacara yang telah digelar sejak berabad-abad lalu atau tepatnya 1755 tetap berlangsung meriah.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, HY Aji Wulantara yang turut hadir dalam acara tersebut menjelaskan, upacara yang rutin diselenggarakan pada hari Jumat minggu kedua dalam bulan Sapar kalender Jawa tersebut memiliki makna yang sangat kuat yaitu kesetiaan.

"Hari ini masyarakat gamping melaksanakan tradisi turun temurun upacara adat Saparan Bekakak. Mengingatkan kita alan peran abdi dalem Ki Wirosuto yang meninggal dunia karena kesetiaan terhadap Pangeran Mangkubumi," ujarnya.

Baca: Acara Kirab Bekakak di Gamping, Sleman Segera Dimulai

Lanjut Aji, proses disembelihnya bekakak yang merupakan wujud sepasang manusia yang terbuat dari nasi ketan merupakan gambaran wujud Ki Wirosuto dan istrinya yang tetap setia menjaga Gunung Gamping.

"Disembelih menggambarkan pengantenan Ki Wirosuto dan Nyi Wirosuto mereka tidak mau meninggalkan Gunung Gamping karena kesetiaan kepada Pangeran Mangkubumi. Mereka meninggal besama-sama di situ dan divisualisasikan dengan boneka manten" terangnya.

Aji menjelaskan upacara adat ini memberikan inspirasi di kehidupan modern, betapa nilai kesetiaan menjadi hal yang sangat berharga seperti halnya kesetian pada bangsa dan negara, sehingga upacara adat ini terus dilestarikan dan mendapat respon masyarakat luas.

"Yang lebih penting dari tradisi adalah value nilai ajaran yang luhur. Membangun kebersamaan dengan budaya merajut kesetiaan kepada bangsa dan negara. Ini jadi pemantik tidak hanya kirab-kirabnya saja tapi persatuan dan kesatuan," paparnya.

Aji menerangkan secara umum esensi dasarnya dari tahun ke tahun sama, yang membedakan partisipasi masyarakat sesuai situasi kondisi.

"Sekarang banyak melibatkan anak muda," katanya.

"Pada saat tahun 1998, banyak kaum sepuh yang ikut. Kita sosialisasikan ini adalah semangat membangun yang juga dapat divisualisasikan anak muda," terangnya.

Sementara itu, dalam upacara adat tersebut kirab bregodo dan ogoh-ogoh diikuti sekitar 40 kelompok.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved