Pemkot Yogya : Buruknya Air Tanah Juga Dipengaruhi dari Wilayah Atas
Rusaknya lingkungan di Yogyakarta dipengaruhi lingkungan di wilayah atas atau lingkungan di Kabupaten Sleman.
Penulis: had | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM - Menanggapi kondisi air tanah yang kian buruk karena tercemar bakteri dan adanya penurunan permukaan air tanah, Pemerintah Kota Yogyakarta tidak menampik hal itu. Namun rusaknya lingkungan di Yogyakarta dipengaruhi lingkungan di wilayah atas atau lingkungan di Kabupaten Sleman.
Asisten Sekda Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya, pada Tribun Jogja mengatakan, penurunan kualitas air tanah di Kota Yogyakarta berkaitan dengan konsep pengelolaan lingkungan secara terintegrasi dalam lingkup aglomerasi perkotaan. Di dalamnya ada Sleman dan Bantul.
“Lebih khusus lagi ada di Sleman yang ada di posisi lebih atas dari pada Kota Yogyakarta. Itu sangat memengaruhi kualitas lingkungan serta kualitas penyediaan air,” katanya.
Aman mengatakan, terhadap penanganan terhadap potensi pencemaran air tanah yang semakin parah ini, Pemkot bekerjasama dengan pemda DIY sudah membuat jaringan limbah terpadu hingga ke rumah tangga yang pengelolaannya terpusat di Sewon, Bantul.
Kemudian, lanjutnya, antisipasi lain yang dilakukan adalah dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan air perpipaan dari PDAM. Jika saat ini ketersediaan kapasitas air baku masih belum maksimal, namun pada 2016 mendatang sudah bisa memanfaatkan sumber air dari Sungai Progo, Kulonprogo, untuk masyarakat Kota Yogyakarta.
“Maka problem kualitas air (pencemaran dan krisis air tanah) ditanggulangi dengan sumber air perpipaan,” katanya.
Aman juga menanggapi banyaknya hotel baru yang diduga tidak sesuai dengan kajian lingkungan kapasitas daya dukung dan daya tampung kota pelajar ini. Menurutnya, seluruhnya sudah sesuai dengan kajian lingkungan dan sesuai dengan Perda RT-RW dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Yogya.
Meskipun diakui, sampai saat ini Kota Yogyakarta belum memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS ini dijadikan sebagai bahan kajian kapasitas daya dukung dan daya tampung suatau daerah dalam melakukan kebijakan pembangunan.
Namun demikian, kata Aman, Pemkot Yogyakarta selama ini dalam melakukan pembangunan meski tanpa KLHS, sudah sesuai dengan hakikat pengendalian lingkungan sampai maksimal. Adanya RT-RW dan RDTRK dianggap cukup mengayomi kebijakan pro investasi.
Kabid Pengembangan Kapasitas Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) kota Yogyakarta, Ika Rostika menambahkan, KLHS memang tidak lepas dari RT-RW, karena dokumen tersebut sebenarnya cikal bakal bahan masukan penyusunan RTRW.
“Tapi karena kami belum ada juknisnya (petunjuk teknis penyusunan KLHS dari pusat), maka ya memakai RT-RW. Tapi kita tidak tinggal diam,” kata Ika.
Pakar Hidrogeologi UGM, Doni Prakasa Eka Putra mengatakan, jika menengok puluhan tahun lalu dari jumlah air yang melintas di bawah Kota Yogyakarta, sebenarnya Tuhan telah menganugerahi dengan air yang berlimpah. Namun karena semakin banyaknya pengguna, banyaknya pembukaan lahan hijau, maka air tidak bisa masuk ke dalam tanah, di sisi lain banyak penggunanya.
Yang bisa dilakukan saat ini, adalah dengan menabung air melalui sumur resapan. Sebab pergerakan air di permukaan tanah gerakannya cukup cepat. Berbeda dengan air dalam tanah yang pergerakannya sangat pelan, paling lama 10 meter pertahun.
“Bayangkan itu. Jadi, lama sekali bergeraknya. Maka seperti nabung, semakin banyak yang kita simpan ya jadi tabungan di masa depan,” ungkapnya.(had)