Dosen FEB UGM Jelaskan Cikal Bakal Fraud, Perhatikan Red Flag

Fraud mencakup seluruh bentuk tipu daya yang bertujuan memperoleh keuntungan tidak sah, mulai dari korupsi hingga penyalahgunaan aset

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Shutterstock via kompas.com
Ilustrasi korupsi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus-kasus kecurangan atau fraud kian menjadi sorotan publik lantaran dampaknya yang merugikan perusahaan dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional. 

Beberapa di antaranya bahkan melibatkan figur besar, seperti kasus pencucian uang yang menyeret pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun, serta dugaan korupsi emas ilegal di PT Antam.

Dosen Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Arika Artiningsih, menjelaskan bahwa fraud mencakup seluruh bentuk tipu daya yang bertujuan memperoleh keuntungan tidak sah, mulai dari korupsi, penyalahgunaan aset, hingga manipulasi laporan keuangan.

“Fraud dilakukan secara sengaja, ditutup-tutupi, dan hampir selalu menimbulkan kerugian. Ia bisa dilakukan siapa saja, sulit diprediksi, dan sering melibatkan lebih dari satu orang melalui kolusi,” ujar Arika dalam kegiatan EB Journalism Academy bertema ‘Menginvestigasi Fraud: Peran Jurnalis dalam Mengungkap Kecurangan dan Melindungi Publik’ di Pertamina Tower FEB UGM beberapa waktu lalu.

Menurut Arika, sejumlah red flag atau tanda awal dapat menjadi petunjuk munculnya kecurangan, seperti anomali dalam laporan akuntansi, lemahnya pengendalian internal, gaya hidup mewah, perilaku tidak wajar, hingga adanya laporan atau keluhan.

“Fraud adalah kejahatan tersembunyi, sehingga deteksi dini melalui red flag menjadi langkah paling krusial,” imbuhnya.

Ia menambahkan, berbagai kasus besar di Indonesia memperlihatkan bagaimana fraud bisa berdampak sistemik terhadap industri dan kepercayaan publik. 

Manipulasi laporan keuangan di Garuda Indonesia, indikasi anomali di PT Antam, hingga fenomena flexing yang berujung pengungkapan korupsi merupakan bukti nyata lemahnya sistem pengawasan.

“Jika tidak segera diidentifikasi, fraud dapat melemahkan fondasi perusahaan. Kerugian finansial mungkin bisa dihitung, tapi hilangnya kredibilitas di mata investor dan publik jauh lebih berbahaya,” tegasnya.

Dalam situasi seperti ini, kata Arika, jurnalis memiliki peran penting dalam menjaga integritas pemberitaan kasus fraud

Ia mengingatkan agar setiap liputan berpegang pada Kode Etik Jurnalistik dengan menjunjung asas praduga tak bersalah. Diupayakan dengan menggunakan istilah yang netral, menjaga keseimbangan sumber berita, menolak segala bentuk gratifikasi, dan melindungi identitas whistleblower.

“Bahasa yang jelas dan edukatif dalam pemberitaan menjadi kunci agar publik dapat memahami modus fraud tanpa bersifat menghakimi,” imbuhnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved