Revisi KUHAP Masih Tanggalkan Hak Warga Negara
Sejumlah ketentuan di KUHAP justru mempertahankan pola lama yang berwatak dominatif dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Ringkasan Berita:
- Biantara Albab, S.H., M.Si., Dosen Fakultas Hukum UMY menilai sejumlah ketentuan di KUHAP yang baru disahkan justru mempertahankan pola lama yang berwatak dominatif dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.
- Ia menilai masih ada aturan yang menanggalkan hak-hak warga negara.
- Hal itu menunjukkan bahwa produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politik.
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pengesahan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh DPR memunculkan perdebatan luas terkait potensi bertambahnya kewenangan aparat penegak hukum tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
Aturan baru ini dinilai menghadirkan sejumlah ketentuan yang berpotensi bertabrakan dengan prinsip-prinsip konstitusional, terutama terkait penyadapan, penahanan, dan penyitaan yang dapat dilakukan tanpa kontrol peradilan yang kuat.
Meski revisi KUHAP kerap disebut sebagai langkah pembaruan hukum untuk menyesuaikan sistem peradilan pidana dengan perkembangan zaman, Biantara Albab, S.H., M.Si., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menilai sejumlah ketentuan justru mempertahankan pola lama yang berwatak dominatif dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.
“Masih ada aturan yang menanggalkan hak-hak warga negara. Ini menunjukkan bahwa produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politik. Ketika konfigurasi politiknya demokratis, regulasinya akan aspiratif, tetapi jika condong otoriter, maka hasilnya dominatif dan jauh dari perlindungan hak-hak sipil,” ujar Bian, Rabu (19/11/2025).
Dari perspektif hukum tata negara, Bian menilai beberapa ketentuan berpotensi bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28D tentang hak atas kepastian hukum dan Pasal 28G mengenai hak atas rasa aman.
Harus ada supervisi
Menurutnya, perluasan kewenangan aparat seperti penyadapan atau penahanan tidak boleh dilakukan tanpa supervisi pengadilan, karena akan menghilangkan mekanisme checks and balances yang merupakan pilar utama negara demokratis.
“Jika penyadapan atau penahanan dilakukan tanpa keterlibatan pengadilan, berarti tidak ada kontrol institusional. Warga negara bisa menjadi korban penyadapan atau penangkapan tiba-tiba tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, dan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi serta konstitusi,” tegasnya.
Bian juga menyayangkan proses legislasi yang dinilainya kurang membuka ruang dialog publik.
Padahal, penyusunan undang-undang idealnya dilakukan secara inklusif karena Indonesia adalah negara demokratis yang menempatkan hak asasi manusia sebagai landasan utama.
Risiko penyalahgunaan
Dalam konteks ini, efektivitas revisi KUHAP sangat bergantung pada pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat. Ketentuan yang kabur atau multitafsir hanya akan meningkatkan risiko penyalahgunaan di lapangan.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya masyarakat memahami hak-hak dasar yang dimiliki ketika berhadapan dengan aparat.
Pengetahuan tersebut menjadi bentuk perlindungan awal untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang dapat muncul akibat regulasi yang belum sepenuhnya jelas.
“Masyarakat harus tahu batas kewenangan aparat dan potensi pelanggaran HAM yang mungkin timbul. Semakin paham masyarakat, semakin sempit ruang bagi abuse of power,” tutupnya. (Ard)
| KUHAP Baru Disahkan, Sejumlah Pasal Menuai Sorotan Publik, Ini Kata Pusham UII Yogyakarta |
|
|---|
| Dekan Fakultas Hukum UJB Ungkap Advokat Jadi Pintu Masuk Profesi Hukum Lain |
|
|---|
| LBH Yogyakarta Sebut RUU KUHAP Berpotensi Buat Polri Semakin Represif |
|
|---|
| Tanggapan Pakar Hukum Pidana UMY soal RUU KUHAP |
|
|---|
| Kritik Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan, Pakar: Selamat Datang di Era Orde Baru Paling Baru |
|
|---|
