Aliansi Ekonom Indonesia Desak Pemerintah Lakukan Reformasi Melalui 7 Desakan Darurat Ekonomi

Ekonom anggota Aliansi Ekonom Indonesia, Elan Satriawan mengatakan terjadi penurunan kualitas hidup  di berbagai lapisan secara masif

|
kompas.com
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Aliansi Ekonom Indonesia mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan ekonomi yang komprehensif. Aliansi ini mewadahi 383 ekonom dan 283 pemerhati ekonomi seluruh Indonesia serta diaspora.

Ekonom anggota Aliansi Ekonom Indonesia, Elan Satriawan mengatakan terjadi penurunan kualitas hidup  di berbagai lapisan secara masif dan sistemik. Memang ada tekanan global, namun kondisi ekonomi Indonesia tidak terjadi tiba-tiba.

Hal ini karena akumulasi proses kehidupan bernegara yang kurang amanah, serta pengambilan kebijakan yang tidak dilakukan secara proper. Dampaknya muncul masalah ketidakadilan sosial, seperti kualitas pertumbuhan ekonomi yang turun dan jauh dari inklusif.

“Periode 2010-2020 perekonomian tumbuh sebesar 5,4 persen dan mampu mengungkit upah riil yang tumbuh 5,1 persen. Namun pada periode 2022-2024, setelah pulih dari COVID, walau ekonomi tumbuh 5 persen, sedangkan upah riil tumbuh 1,2 persen, artinya stagnan,” katanya secara daring, Selasa (09/09/2025).

Selain itu, pihaknya juga melihat ada masalah serius pada ketimpangan berbagai dimensi. Ditandai dengan mandeknya peningkatan kesejahteraan kelompok bawah, rentan, dan menengah. Sementara kelompok atas tumbuh lebih pesat. Masyarakat mengalami perlambatan pertumbuhan rata-rata pengeluaran per kapita di periode 2018-2024 dibandingkan periode 2012-2018 dengan koreksi pertumbuhan rata-rata 2 pon persentase.

Ada penyusutan ketersediaan lapangan kerja berkualitas bagi kebanyakan kalangan muda yang merupakan aset bangsa. Dari sekitar 14 juta lapangan kerja baru yang tercipta pada 22018-2024, 80 persennya berada di sektor berbasis rumah tangga. Artinya berada di sektor informal, dengan upah di bawah rata-rata nasional, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian keberlanjutan status pekerjaan.

“Di sektor formal, publik dan privat, masih ada 25 persen pekerja di sektor publik atau pemerintah dan 31 persen pekerja swasta yang bahkan belum memiliki asuransi kesehatan dan jaminan yang lain,” terangnya.

Tingkat pengangguran usia 15-24 tahun selama 2016-2024 selalu di atas 15 persen, atau tiga kali lipat dibandingkan usia 25-34 tahun. Lebih dari 25 persen anak muda Indonesia tidak produktif, tidak sedang bekerja dan tidak sekolah, khususnya perempuan.

Ekonom lainnya, Vivi Alatas mengungkapkan proses pengambilan kebijakan pemerintah tidak berdasarkan bukti dan minim teknokrasi. Ini menyebabkan misalokasi sumber daya, termasuk lemahnya tata kelola kelembagaan, serta kurangnya empati dan keterbukaan atas masukan dan kritik. Hasilnya kebijakan dan program pemerintah tidak menjawab kebutuhan masyarakat.

“Anggaran untuk Polri maupun Kementerian Pertahanan, termasuk TNI tumbuh hampir 6 kali lipat dari 2009-2026. Sedangkan anggaran untuk perlindungan sosial hanya tumbuh 2 kali lipat. Ada kenaikan anggaran lain dalam APBN beberapa tahun terakhir, yang mengimplikasikan buruknya perencanaan hingga menekan pembiayaan pada prioritas anggaran lain,” paparnya. 

“Contoh pengambilan kebijakan minim bukti dan teknokrasi adalah MBG yang alokasi anggaran 2026 sebesar Rp 335 triliun yang mencakup 44 persen anggaran pendidikan. Padahal masih banyak kualitas dan akses pendidikan yang belum teratasi. Kebijakan ini bukan hanya berpotensi menghabiskan anggaran, tetapi menjadi ancaman serius bagi reformasi pendidikan,” sambungnya.

Aliansi Ekonom Indonesia memandang ketidakhadiran negara untuk perlindungan masyarakat dari risiko penghisapan sumber daya ekonomi, seperti maraknya pungutan liar pada usaha masyarakat dan judi online.

Selain itu, tercederainya kontrak sosial negara dan masyarakat, termasuk tidak terpenuhinya kewajiban negara pada warganya. Ini terbukti setelah tertutupnya kanal penyampaian aspirasi, persekusi yang didorong konflik kepentingan, gugurnya warga negara dalam menuntut haknya, dan diabaikannya keamanan sipil.

“Kami dapat menyimpulkan dua benang merah dari permasalahan perekonomian ini. Pertama, misalokasi sumber daya yang masif. Kedua, rapuhnya institusi penyelenggara negara karena konflik kepentingan dan tata kelola yang tidak amanah,” ujarnya.

Berkaca dari berbagai permasalah tersebut, Aliansi Ekonom Indonesia menyampaikan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi.

Tujuh Desakan Darurat Ekonomi tersebut ialah, memperbaiki secara menyeluruh mislokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional. 

Mengembalikan independensi dan transparansi pada berbagai institusi penyelenggara negara, seperti BI, KPK, BPK, BPS, DPR, MA, MK, serta Kejaksaan.

Selanjutnya, menghentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal. Termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan.

Aliansi Ekonom Indonesia juga mendesak adanya deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi, dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi. Kemudian, memprioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi. 

Pemerintah didesak untuk mengembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan keputusan dan menghapus program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi, seperti MBG, Koperasi Desa Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan lain-lain.

Terakhir, tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan. (maw)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved