Mengenal Baju Adat Yogyakarta: Simbol Filosofi dan Status Sosial
Memiliki beragam pakaian adat yang bukan sekadar busana, melainkan cerminan dari filosofi hidup Jawa serta penanda status sosial pemakaiannya.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM – Yogyakarta merupakan sebuah kota yang kental akan budaya dan tradisi.
Memiliki beragam pakaian adat yang bukan sekadar busana, melainkan cerminan dari filosofi hidup Jawa serta penanda status sosial pemakaiannya.
Setiap detail mulai dari motif, bahan, hingga cara pemakaian, semuanya memiliki makna mendalam yang diwariskan turun-menurun.
Pakaian adat pria Yogyakarta mencerminkan sikap rendah hati, keteguhan, dan wibaya.
Setiap jenis pakaian memiliki makna dan simbol tersendiri, seperti halnya berikut:
Surjan
Surjan merupakan baju atasan berlengan panjang dengan kerah tegak yang memiliki simbol kesederhanaan dan kepasrahan.
Desain pakaian ini melambangkan ketertiban dan etika dalam berbusana.
Adapun jenis-jenis motif yang digunakan, seperti motif lurik dan variasi motif (bunga-bunga).
Motif lurik pada surjan yaitu motif garis-garis vertikal yang melambangkan kesatuan dan harmonisasi.
Sementara surjan dengan motif bunga-bunga biasanya secara khusus dikenakan oleh para abdi dalem Keraton atau pegawai Keraton Yogyakarta.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya hierarki dan peran dalam Keraton yang juga tercermin dalam detail pakaian.
Biasanya surjan dikenakan untuk acara sehari-hari atau acara semi-formal.
Beskap
Pakaian ini lebih formal dari pada surjan, karena beskap merupakan pakaian yang menunjukkan kewibawaan dan ketegasan.
Memiliki potongan yang lebih rapi dan kaku, memberikan kesan yang formal, kokoh, dan berwibawa.
Beskap sering kali dipakai dalam acara-acara resmi atau upacara adat.
Warna beskap biasanya lebih gelap seperti hitam, biru tua, atau coklat.
Warna-warna tersebut tidak hanya menciptakan kesan elegan, tetapi juga melambangkan kewibawaan dan ketegasan.
Blangkon
Blangko merupakan penutup kepala khas yang melambangkan pikiran yang fokus dan terarah, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak penting.
Bentuk blangkon memiliki perbedaan di setiap daerah.
Blangkon gaya Yogyakarta memiliki ciri khas benjolan di bagian belakang yang disebut mondolan.
Benjolan di belakang bukanlah hiasan semata, melainkan simbol bahwa sanggul rambut pria zaman dulu tidak di potong, tetapi digulung di belakang.
Hal ini menunjukkan status sosial dan peran seseorang dalam masyarakat.
Jarikan
Jarikan atau kain batik yang dipakai sebagai bawahan memiliki makna filosofis yang terkandung dalam setiap motifnya, seperti parang rusak dan kawung.
Motif parang rusak yang menyerupai ombak bergelombang, melambangkan perjuangan melawan kejahatan dan hawa nafsu.
Motif ini adalah motif yang sakral, pada zaman dahulu hanya dikenakan oleh raja dan keluarga Keraton.
Selaian pakaian pria, ada juga pakaian adat wanita Yogyakarta yang memancarkan keanggunan, kelembutan, dan kemuliaan.
Kebaya
Kebaya adalah simbol utama keanggunan wanita Jawa.
Lebih dari sekadar pakaian, kebaya mencerminkan kepribadian pemakaiannya seperti kelembutan, kesabaran, dan kehalusan budi pekerti.
Desainnya yang mengikuti lekuk tubuh mengajarkan wanita untuk bersikap luwes dan fleksibel dalam menghadapi kehidupan.
Secara filosofis, kebaya yang sering dibuat dari kain tipis seperti brokat atau beludru juga melambangkan keterbukaan hati dan ketulusan.
Di masa lalu, kebaya juga menjadi penanda status social seperti kebaya dengan hiasan dan bahan yang lebih mewah biasanya dipakai oleh bangsawan atau keluarga keraton.
Kemben
Sebelum kebaya menjadi busana sehari-hari, kemben adalah pakaian utama wanita Jawa.
Kain panjang yang dililitkan erat untuk menutupi dada hingga pinggang ini memiliki makna yang sangat mendalam.
Kemben melambangkan kesopanan dan kemampuan mengendalikan diri (keterbatasan diri).
Dibalik kesederhanaannya, kemben mengajarkan bahwa kecantikan sejati terpancar dari dalam bukan hanya dari penampilan fisik.
Kemben juga mengajarkan wanita untuk tidak terlalu menonjolkan diri dan menjaga sikap serta kehormatan.
Sanggul
Sanggul bukan sekadar tatanan rambut, melainkan mahkota tak terlihat bagi wanita Jawa.
Bentuk dan hiasan pada sanggul memiliki makna yang kompleks, mewakili kecantikan, status, dan peran sosial.
Adapun bentuk-bentuk sanggul, yaitu sanggul gelung konde dan tusuk konde.
Sanggul gelung konde adalah salah satu gaya sanggul khas Yogyakarta yang rumit dan elegan.
Bentuknya yang rapi dan megah melambangkan wanita yang berkelas dan memiliki status terhormat.
Hiasan bunga melati yang sering disematkan pada sanggul tidak hanya menambah keindahan, tetapi juga melambangkan kesucian dan kemurnian hati.
Hiasan tusuk konde yang terbuat dari emas atau perak juga menjadi penanda kekayaan dan kemuliaan.
Jarikan
Sama seperti pria, wanita juga menggunakan kain batik sebagai bawahan.
Penggunaan jarikan oleh wanita menunjukkan hubungan mereka dengan tradisi dan kekayaan budaya Jawa.
Setiap pakaian adat Yogyakarta adalah sebuah karya seni yang sarat makna.
Melalui setiap helai benang dan lipatan kain, tersimpan cerita tentang filosofi hidup, nilai-nilai, dan identitas budaya yang kuat.
Dengan memakainya, kita tidak hanya mengenakan busana, tetapi juga melestarikan warisan leluhur yang tak ternilai harganya. (MG Awega Yunita Sara)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.