Pakar UGM Soroti Perlunya Kompromi antara Buruh dan Pengusaha dalam Penetapan UMP

Dr. Hempri Suyatna, menilai dialog tripartit menjadi kunci penetapan upah minimum 2026 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol UGM, Dr. Hempri Suyatna 

TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah daerah dituntut memainkan peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan buruh dan dunia usaha.

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol UGM, Dr. Hempri Suyatna, menilai dialog tripartit menjadi kunci agar penetapan upah minimum 2026 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencerminkan keadilan dan kondisi ekonomi yang sebenarnya.

Penetapan upah minimum kembali menjadi isu hangat di Yogyakarta menjelang pembahasan upah tahun 2026.

Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menuntut agar pemerintah menjadikan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai dasar resmi dalam menentukan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Sebelumnya, koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menyebut, hasil survei menunjukkan kebutuhan hidup layak di seluruh wilayah DIY sudah jauh melampaui upah minimum yang berlaku.

“Kebutuhan hidup layak di Kota Yogyakarta mencapai Rp4.449.570, di Sleman Rp4.282.812, di Bantul Rp3.880.734, di Kulon Progo Rp3.832.015, dan di Gunungkidul Rp3.662.951,” ujarnya.

Menurut Irsad, kondisi tersebut menandakan kesenjangan serius antara penghasilan dan biaya hidup buruh di Yogyakarta. “Buruh di sini sudah lama bertahan dalam situasi yang tidak ideal. Kami ingin KHL dijadikan acuan resmi, bukan sekadar data pelengkap,” katanya.

Menjaga Keseimbangan antara Buruh dan Pengusaha

Terkait hal tersebut, Dr. Hempri Suyatna, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), menilai bahwa dinamika tuntutan kenaikan upah merupakan fenomena wajar yang terjadi setiap tahun, baik di DIY maupun daerah lain.

“Buruh tentu berupaya mendorong peningkatan penghasilan mereka, sementara pengusaha berusaha menekan biaya produksi, termasuk dalam hal upah. Karena itu, perlu ada titik kompromi agar kebijakan upah tidak hanya menguntungkan satu pihak,” kata Hempri.

Ia menegaskan, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi penengah yang adil antara kedua kepentingan tersebut.

“Penentuan upah tidak bisa hanya berpatokan pada kebutuhan hidup layak, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor lain seperti inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, serta indeks ekonomi daerah,” ujarnya.

Menurut Hempri, dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan buruh merupakan mekanisme penting agar keputusan penetapan upah benar-benar mencerminkan kondisi riil perekonomian Yogyakarta

“Ketika semua pihak duduk bersama, hubungan industrial bisa lebih sehat dan berkelanjutan,” katanya.

Meski mengakui pentingnya kehati-hatian dalam menentukan besaran kenaikan upah, Hempri menegaskan bahwa peningkatan penghasilan buruh tetap perlu dilakukan.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved