Dcelljogjastore, Merawat Musik Analog dari Bantul untuk Pecinta Suara Lawas

Di tengah arus deras musik digital yang kian mendominasi, musik analog ternyata masih memiliki ruang hidupnya sendiri.

Penulis: Santo Ari | Editor: Hari Susmayanti
Tribun Jogja/Santo Ari
Asriyadi Cahyadi, pemilik Dcelljogjastore di kawasan Panggungharjo, Bantul. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Di tengah arus deras musik digital yang kian mendominasi, musik analog ternyata masih memiliki ruang hidupnya sendiri.

Suara khas dari piringan hitam, Walkman, hingga tape recorder tetap berputar, menghadirkan detail audio yang dianggap lebih hangat dan berkarakter.

 Fenomena ini membuktikan bahwa nostalgia dan kualitas suara masih menjadi alasan kuat bagi banyak orang untuk merawat tradisi musik lawas.

Salah satu yang menjaga denyut nadi musik analog adalah Asriyadi Cahyadi, pemilik Dcelljogjastore di kawasan Panggungharjo, Bantul.

Usaha yang ia bangun tujuh tahun lalu berawal dari hobi pribadi terhadap musik dan elektronik. 

“Saya sendiri dasarnya suka musik, kemudian didukung dengan musik analog ini suaranya lebih enak didengar, lebih detail, maka saya tetap lestarikan musik analog," ujarnya.

Di tempatnya, Asriyadi melayani berbagai kebutuhan seputar perangkat musik analog, mulai dari servis Walkman, tape, ampli, hingga pemutar piringan hitam.

Jenis kerusakan yang paling sering ia tangani biasanya seputar penggantian karet roller, gear, hingga motor pemutar.

Untuk perbaikan ringan, biaya dimulai dari Rp 50 ribu, sementara kerusakan berat seperti penggantian IC atau komponen langka bisa mencapai Rp 500 ribu, bergantung pada kondisi perangkat dan harga spare part. 

"Tantangan terbesar justru ada di sparepart, karena banyak yang sudah tidak diproduksi, jadi harus hunting atau memanfaatkan stok lama," jelasnya.

Baca juga: Pancarona: Lagu Barasuara tentang Perjalanan dan Pencarian Jati Diri

Selain jasa servis, Dcelljogjastore juga menjual perangkat dan koleksi musik analog.

Walkman bisa didapat mulai Rp 100 ribu, sementara tape recorder mulai Rp 200 ribu.

Beberapa item bahkan mencapai harga fantastis, seperti boombox Sharp GF777 yang bisa bernilai hingga Rp 10 juta.

Koleksi kaset juga tidak kalah menarik, terutama rilisan awal band-band lokal seperti Sore atau Efek Rumah Kaca yang bisa mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per keping. 

“Justru rilisan lokal yang banyak diburu, karena barangnya terbatas dan peminatnya tinggi," kata Asriyadi.

Daya tarik musik analog juga dirasakan oleh Dio, seorang pengunjung asal Lampung yang tengah berlibur ke Yogyakarta. Ia sengaja membeli tape di Pasar Sentir dan membawanya ke toko Asriyadi untuk servis. 

"Kalau mendengar musik dari tape, seakan terbawa vibes zaman dulu. Di rumah juga banyak koleksi kaset, termasuk dari orang tua," tuturnya.

Bagi para penggemar, musik analog tidak sekadar hiburan, melainkan pengalaman mendengar yang utuh, lengkap dengan bentuk fisik dan nilai sentimentalnya.

Seperti yang diyakini Asriyadi, selama masih ada telinga yang mencari detail suara khas analog, musik lawas ini akan tetap menemukan pasarnya.(nto)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved