Menyusuri Jejak 14 Relawan PMI Jogja yang Gugur Selama Masa Revolusi di TMP Kusumanegara

Keberadaan pahlawan yang berstatus personel palang merah pun baru benar-benar tervalidasi melalui proses penyusunan buku Dasa Windu PMI Yogyakarta.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
ZIARAH - Jajaran PMI DI Yogyakarta saat melakukan ziarah ke makam relawan palang merah yang gugur selama masa revolusi, di TMP Kusumanegara, Kota Yogyakarta, Rabu (17/9/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Peran tenaga medis, khususnya dari lembaga palang merah, dalam deretan pertempuran selama masa revolusi, jelas tidak bisa dikesampingkan.

Mereka muncul sebagai penyelamat bagi para pejuang yang bertempur di garis depan, meski terkadang harus mengorbankan nyawanya sendiri.

Akan tetapi, untuk melacak sepak terjang relawan Palang Merah Indonesia (PMI) yang turut berjuang di masa revolusi, ternyata tak semudah membalik telapak tangan.

Ya, keberadaan pahlawan yang berstatus personel palang merah pun baru benar-benar tervalidasi melalui proses penyusunan buku Dasa Windu PMI Yogyakarta.

Buku bertemakan 'Menelusuri 80 Tahun Jejak Perjalanan Palang Merah Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta' itu disusun dalam rangka memperingati HUT ke-80 PIM DIY, pada 29 September 2025 mendatang.

Selain merunut sejarah beridirinya PMI di Bumi Mataram, buku tersebut sekaligus menguak sepak terjang relawannya yang ikut berjuang selama masa revolusi.

Ketua PMI DIY, GBPH H Prabukusumo, mengungkapkan terdapat 14 orang anggota PMI yang gugur pada masa revolusi antara tahun 1946 - 1949.

Data tersebut baru didapatnya setelah menempuh penelusuran dengan menyasar sejumlah berkas dan dokumen hingga ke daratan Eropa.

"Ditemukan dokumen-dokumen, bahwa ada 14 orang relawan palang merah indonesia dari Yogyakarta yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegra," katanya, Rabu (17/9/2025).

Baca juga: TPA Piyungan Masih Jadi Tumpuan Sampah Kota Yogyakarta, Kapasitas Terbatas hingga 2025

Menyongsong hari jadi ke-80, jajaran kepalangmerahan di DIY untuk pertama kalinya melakukan ziarah ke TMP yang berlokasi di Kota Yogyakarta tersebut.

Sayangnya, di antara 14 relawan PMI yang gugur dan diistirahatkan di sana, tidak seluruhnya diketahui identitasnya secara resmi.

"Dua pahlawan tidak dikenal, sisanya pejuang yang diketahui identitasnya. Semuanya kita sambangi unguk tabur bunga. Kami sangat menghormati 14 orang anggota PMI yang gugur pada masa revolusi antara 1946 - 1949," tandasnya.

Selain itu, Gusti Prabu menyampaikan, saat Ibu Kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Markas Besar Palang Merah Indonesia juga dipindah ke Yogyakarta. 

Bahkan, terangnya, hari ulang tahun PMI yang ditetapkan setiap tanggal 17 September, merupakan hasil Kongres PMI yang ke-II di Yogyakarta.

"Selain ke Kusumanegara, hari ini kami juga ke Makam Pajimatan Imogiri, berziarah untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sangat berjasa untuk bangsa Indonesia dan PMI," ujarnya. 

"Di sana juga dimakamkan GPH Murdaningrat, Ketua PMI DIY periode 1955-1978. Selanjutnya ke Astana Girigondo Kulon Progo, makam KGPAA Paku Alam VIII, Ketua Umum PMI periode 1954-1966," urai Gusti Prabu.

Plt Ketua PMI Kota Yogyakarta, Irjen Pol (Purn) Haka Astana, mengatakan jejak langkah PMI DIY menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan sejarah rakyat, bangsa, negara Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan ke seluruh penjuru tanah air, dukungan terhadap pernyataan kemerdekaan itu diperoleh dari segenap lapisan masyarakat, termasuk dari Yogyakarta. 

Beberapa dokter yang berada di Yogyakarta lantas mengikuti jejak rekan-rekannya yang tinggal di Jakarta untuk membentuk PMI Tjabang Jogjakarta pada 29 September 1945. 

Rapat pembentukan PMI Tjabang Jogjakarta pun diselenggarkaan di gedung bekas Badan Pertolongan Keluarga Korban Perang (BPKKP).

"Pada 27 Oktober 1945, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat Nomor 6 tahun 1945 yang berisi tentang kesehatan, pengobatan, dan perawatan bagi anggota tentara," ujarnya.

Melalui maklumat itu, jawatan kesehatan, PMI, serta ahli kesehatan di DIY diperintahkan untuk membentuk regu-regu penolong di dekat pertempuran jika dibutuhkan.

Maka, PMI, dokter, jururawat, dan lain sebagainya, diminta meningkatkan pengabdian dan partisipasinya terhadap perjuangan pada waktu itu. 

"Dana untuk mencukupi kebutuhan PMI pada saat masa revolusi diperoleh dari sumbangan para dermawan yang bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia," cetusnya.

"Salah satunya adalah dari Sri Sultan HB IX. Selain bantuan kepada PMI, beliau juga memberikan bantuan pada perorangan dan keperluan pasukan gerilya untuk melawan Belanda," urai Haka. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved