TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG – Seorang kakek berusia 70 tahun bernama Wajib, warga Dusun Kembangsari, Desa Madyogondo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, tengah menghadapi persoalan pelik terkait kepemilikan tanah yang telah ditempatinya selama puluhan tahun.
Kasus ini mencuat setelah ramai diperbincangkan di media sosial. Salah satunya melalui akun Instagram @andreli_48 yang mengunggah foto rumah sekaligus potret Mbah Wajib.
Pada unggahan itu disebutkan, Mbah Wajib kehilangan rumah dan tanah warisan yang telah ia huni selama 62 tahun.
Pada 2019, muncul sertifikat hak milik atas nama W, warga Kabupaten Temanggung, di atas tanah yang ditempati Mbah Wajib.
Penerbitan sertifikat tersebut diduga mendapat dukungan dari Pemerintah Desa Madyogondo, meski pihak keluarga menegaskan tidak pernah melakukan transaksi jual beli maupun memberikan izin atas tanah itu.
Mbah Wajib baru mengetahui adanya sertifikat tersebut pada 2023. Saat itu, pihak keluarga mengaku diminta membayar Rp80 juta oleh pihak W agar sertifikat tanah bisa dikembalikan.
Menanggapi hal tersebut, anak kedua Wajib, Sawali Muhamat Al Rozin (50), menjelaskan bahwa ayahnya telah menguasai tanah warisan dari orang tuanya sejak 1986 dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat Letter C dan Letter D atau yang lebih dikenal dengan Petok D.
“Letter C dan D itu atas nama bapak semua dan tercatat juga di SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang). Namun, tiba-tiba muncul sertifikat atas nama W pada 2019,” ujar Sawali saat ditemui di rumahnya, Rabu (20/8/2025).
Saat itu, ia didampingi Mbah Wajib yang duduk di sebelahnya.
Menurutnya, keluarga tidak pernah melakukan jual beli maupun hibah atas tanah tersebut.
Dirinya juga rutin membayar tagihan PBB yang terakhir dibayarkan pada 2024 lalu, dengan luas tanah 260 meter persegi dan bangunan 120 meter persegi.
“Tidak pernah menjual tanah, hibah atau apapun. Bapak juga saya bilang jangan menandatangani apapun,” terang Sawali.
Ia membenarkan pada 2023 keluarganya sempat dimintai uang sebesar Rp80 juta oleh W. Karena keberatan, pihak keluarga kemudian mengikuti mediasi di balai desa yang terakhir berlangsung pada 2024.
Pada mediasi itu, Sawali sempat diperlihatkan fotokopi sertifikat tanah atas nama W.
“Nuntutnya (W) harus bayar Rp 80 juta nanti sertifikat mau dikasihkan,” tuturnya.
Baca juga: Letter C, Girik, Petuk Tak Bisa Dipakai untuk Daftar Sertifikat Tanah
Sawali menyebut, orang tuanya telah menempati lahan itu sejak 1963, jauh sebelum terbit Letter C. Saat ini rumah tersebut dihuni Mbah Wajib bersama dirinya serta salah satu dari tiga anak Mbah Wajib.
Meski masih menghuni rumah tersebut, keluarganya berharap hak kepemilikan kembali diakui atas nama Wajib.
“Harapan kami munculnya sertifikat atas nama bapak. Belum ada titik temu sampai 8 kali mediasi di balai desa. Tuntutannya harus mengeluarkan uang 80 juta,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pihaknya sudah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Mungkid serta melapor ke Polresta Magelang.
Namun, gugatan yang diajukan dinyatakan bukan kewenangan pengadilan, sementara penyidikan di kepolisian juga dihentikan.
“Belum ada hasilnya karena pengadilan memutuskan tidak berwenang mengadili. Lalu kalau kayak gini siapa lagi yang berwenang,” terang Sawali.
Penjelasan Kades Madyogondo
Sementara itu, Kepala Desa Madyogondo, Sawal, menjelaskan bahwa berdasarkan ricik desa tahun 1959, tanah tersebut tercatat atas nama Buang, yang berdomisili di Temanggung.
Diketahui, Buang merupakan ayah dari W. Adapun Mbah Wajib masih memiliki hubungan keluarga dengan Buang karena keduanya saudara seayah.
“Pak Buang ada di Temanggung. Intinya mau minta tanah yang sekarang ditempati Pak Wajib. Desa melihat data yang ada warisan dari Mbah Soinangun (Ayah Mbah Wajib) kepada Pak Buang,” jelas Sawal.
Menurutnya, pada 2019 putra Buang mengajukan sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan dasar ricik desa 1959.
Permohonan itu kemudian diterima. Dia mengklaim tak ada keberatan dari pihak Mbah Wajib kala itu.
“Ricik atau istilahnya buku atau data kepemilikan tanah sebelum Letter C itu ada. Terus desa waktu itu ada kepanitian PTSL diajukan (dasar ricik) terus terbit dan tidak ada komplain dari Pak Wajib,” ungkapnya.
Meski sudah beberapa kali dimediasi, persoalan ini belum menemukan jalan keluar. Akhirnya Mbah Wajib mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Mungkid.
“Karena tidak ada penyelesaian, pihak Pak Wajib mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Mungkid. Keputusan dari pengadilan, yang bisa memutuskan PTUN,” terangnya.
Ia menyebut, pemerintah desa bahkan sempat dilaporkan ke Polda terkait persoalan ini. Pihak desa sendiri, lanjutnya, pernah dimintai keterangan oleh Polresta Magelang pada awal 2025.
“Saya juga Pemdes dilaporkan sampai ke Polda. Sudah diproses, Polda melimpahkan ke Polresta,” ucapnya.
Menanggapi klaim keluarga Wajib yang masih mengantongi Letter C dan Letter D, Sawal menyebut sertifikat terbit dengan dasar ricik desa.
“Dalam mediasi berembuk peralihan (dari Pak Wajib ke Pak Buang), kita juga untuk menemukan kebenarannya tidak tahu persis. Peralihannya kita juga bingung,” tambahnya.
Kasat Reskrim Polresta Magelang, Kompol La Ode Arwansyah, membenarkan bahwa penyelidikan kasus ini sudah dihentikan sebelum dirinya menjabat.
“Sudah henti penyidikan sebelum saya menjabat. Alasannya belum ada peristiwa pidana,” katanya. (tro)
Baca juga: Letter C, Girik, Petuk Tak Bisa Dipakai untuk Daftar Sertifikat Tanah