TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi pemain utama di industri energi bersih dunia.
Namun, penguasaan teknologi masih didominasi pihak asing, terutama China.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Ir Sarjiya ST MT PhD IPU, dalam podcast Pusat Studi Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan (PSPG) UGM yang tayang 8 Agustus 2025.
Prof. Sarjiya menjelaskan, Indonesia memiliki mineral kritis seperti nikel, tembaga, dan timah yang sangat dibutuhkan dalam produksi baterai, kendaraan listrik, serta teknologi ramah lingkungan.
"Posisi kita strategis, tapi kemampuan teknologi penambangan, pengolahan, dan ekstraksi masih bergantung pada luar negeri," ujarnya.
Ia mengingatkan, sebelum kebijakan pembangunan smelter diterapkan, Indonesia kerap mengekspor bahan mentah dengan harga murah.
Kini hilirisasi mulai berjalan, namun teknologi dan tenaga ahli sebagian besar masih diimpor.
"Kalau teknologi tetap dikuasai asing, kita hanya jadi penonton," tegasnya.
Baca juga: Ahli Gizi UGM Prof. Lily Ungkap Pentingnya Serat untuk Kesehatan dan Tumbuh Kembang
Menurutnya, setiap izin tambang dan hilirisasi seharusnya disertai kewajiban transfer teknologi, pelatihan SDM lokal, serta kerja sama riset dengan universitas dalam negeri.
Dengan begitu, ketika cadangan tambang habis, Indonesia tetap memiliki kemampuan produksi dan hak paten teknologi.
Prof. Sarjiya juga menyoroti dominasi China yang menguasai rantai pasok dari penambangan hingga produk jadi.
Indonesia, kata dia, harus memanfaatkan posisi sebagai pemasok bahan baku dengan menuntut penguasaan teknologi.
Ia menilai, hilirisasi yang dikelola dengan baik dapat membuka peluang lapangan kerja baru, meningkatkan nilai ekspor, dan memperkuat industri manufaktur di dalam negeri.
Dampaknya bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga pada kemandirian teknologi energi bersih.
Jika tidak ada transfer teknologi, kata dia, Indonesia berisiko hanya menjadi pemasok bahan baku murah.