Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, MANDEH - Ada yang ganjil dari Mandeh, surga di pesisir selatan Sumatera Barat (Sumbar) yang konon disebut-sebut sebagai ‘Raja Ampat-nya Sumatera’.
Mandeh terlalu indah untuk disebut terabaikan, tapi terlalu sepi untuk disebut siap.
Lautnya jernih dengan air berwarna toska yang memantulkan warna langit, pulaunya bertebaran seperti mozaik, dan akses jalan sudah terbuka sejak 2019 lalu.
Akan tetapi, saat menjejakkan kaki di sini, rasanya seperti memasuki rumah indah yang pintunya terbuka, tapi isinya masih kosong.
Fasilitas masih minim, homestay bisa dihitung jari. Mandeh memanggil banyak orang datang, tapi atapnya belum dibangun, belum mampu menyuruh mereka tinggal lebih lama.
Camat Koto XI Tarusan, kecamatan yang menaungi kawasan wisata Mandeh, Nur Laini, tak menampik kondisi itu.
Ia menyebut, sejak awal Mandeh sempat ditetapkan sebagai kawasan wisata prioritas nasional, tapi harapan besar itu belum sepenuhnya menetes hingga ke dapur-dapur warga.
“Dampaknya belum dirasakan masyarakat secara lebih luas,” ujarnya mengawal percakapan dengan Tribun Jogja beberapa waktu lalu.
Ketiadaan fasilitas penginapan yang memadai menjadi penghambat iklim wisata di kawasan tersebut.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, dari total 23 nagari atau desa di Kecamatan Koto XI Tarusan, hanya terdapat 36 penginapan.
Jumlah itu menyebar tak merata, dan paling banyak terpusat di Nagari Sungai Nyalo Mudiak Aie, yang memiliki 11 penginapan.
“Kalau ada event besar, kita keteteran,” kata Nur Laini.
“Wisatawan banyak yang akhirnya menginap di Padang. Itu artinya, keuntungan ekonominya lebih banyak lari ke kota, bukan ke sini,” tambahnya.
Baca juga: UGM Tertinggi! Ini 10 Universitas Terbaik di Jogja Menurut Webometrics 2025
Padahal, tiap musim liburan, kawasan wisata itu penuh dengan banyak orang berdatangan menikmati semilir angin di pantai, memandangi ombak yang menghantam pulau-pulau yang berserakan dan berlayar di perairan tenang berwarna toska.