3 Bulan Tak Bisa Bekerja, Penambang Progo Desak Izin Tambang dan Penggunaan Pompa Mekanik Dipercepat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

GELAR AKSI - Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera dan Kelompok Penambang Progo menggelar aksi di Kantor Gubernur DIY, Rabu (25/6/2026), untuk menyampaikan aspirasi terkait keberlangsungan aktivitas penambangan pasir di Sungai Progo. Mereka mendesak percepatan proses perizinan, terutama izin penggunaan pompa mekanik yang kini dilarang.

"Untuk audiensi ini, kami tetap merasa kecewa karena belum ada jawaban yang pasti. Namun, untuk besok siang sudah dijadwalkan untuk mendatangi titik lokasi yang akan ditinjau," ungkap Agung Mulyono.

"Tuntutan kami yang pertama dipermudah perizinan. Kedua, dipercepat prosesnya. Ketiga, kami ingin bisa menambang kembali. Tuntutannya hanya itu, supaya kami bisa menghidupi keluarga kami. Karena sudah 3–4 bulan ini kami tidak bekerja," lanjutnya.

"Karena izin masih dalam proses, kami tetap tidak diperbolehkan menambang karena ada aturan-aturan yang dicabut, salah satunya adalah larangan menggunakan pompa mekanik. Selama ini kami menambang memang menggunakan pompa. Jadi selama ini ya kami tidak menambang karena tidak diizinkan," tambahnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selama ini para penambang rakyat menggunakan pompa mekanik untuk menambang pasir di kedalaman 5–6 meter.

Mereka menyatakan bahwa peralatan yang digunakan tidak cukup kuat untuk mengeksplorasi lebih dalam, terutama saat menghadapi batuan keras di dasar sungai. Penambang juga mengklaim  anggapan bahwa aktivitas mereka merusak lingkungan.

Menurut mereka, aktivitas penambangan bersifat terbatas dan tidak menggunakan alat berat.

"Kalau sudah mendapatkan batu, kami tidak bisa menembus ke bawah lagi. Alat kami tidak memadai untuk itu. Jadi, untuk merusak lingkungan itu tidak ada. Kami ini sudah menambang secara turun-temurun dari dulu. Kalau dikatakan kami merusak lingkungan, ya tidak mungkin. Lingkungan itu kan tempat tinggal kami sendiri," ujarnya.

"Saya bisa menjamin tidak ada kerusakan. Rumah saya itu di pinggir sungai. Sejak saya menambang, tidak pernah ada longsor tanah di samping rumah. Jadi saya bisa pastikan, tidak ada kerusakan lingkungan," lanjutnya.

Kondisi ini berdampak langsung pada kehidupan ratusan warga yang menggantungkan hidup dari sektor tersebut.

Di Sungai Progo terdapat 28 titik tambang, dengan 20 titik di antaranya kini tidak beroperasi. Setiap titik terdiri atas 30–40 pekerja.

Di kelompok yang dipimpin Agung sendiri terdapat 75 anggota, yang mewakili sekitar 300 jiwa jika dihitung dengan anggota keluarga.

Selama tidak menambang, sebagian penambang bertahan hidup dengan membantu memuat pasir di depo.

Namun, pendapatan yang diperoleh sangat minim dan tidak menentu. Kadang mereka hanya mendapatkan Rp25.000 per orang per hari, bahkan tidak mendapat pemasukan sama sekali jika tidak ada truk pengangkut yang datang.

Di tengah tekanan ekonomi tersebut, komunitas penambang juga berupaya menjaga identitas budaya mereka. 

Dalam aksi di kantor gubernur, ditampilkan pertunjukan seni dari Paguyuban Seni Tari Reog Wayang 'Putra Mahesa', Mendiro, Galurejo, Lendah, Kulon Progo, yang merupakan bagian dari pelatihan budaya.

Halaman
123

Berita Terkini