Ia selama ini baru bisa melakoni pementasan dengan durasi 2 jam saja.
Selain problem stamina, Rizki mengungkapkan, faktor bahasa dalang masih jadi kendalanya.
Sebab, ia kini masih berpegang pada sistem hafalan.
Menurutnya, untuk melakukan improvisasi, dirinya merasa belum sepenuhnya berani.
Alhasil, daripada harus memaksakan, pentas 2 jam pun jadi pilihan.
"Kalau Bapak, misalnya, itu sudah di tahap bisa improve. Jadi, yang penting tahu jalan ceritanya, mau dibuat seperti apa, nanti menyesuaikan," ucapnya.
Bagaimanapun, menjadi seorang dalang perempuan memberikan banyak pelajaran baginya. Sambutan publik pecinta pewayangan pun dilihatnya sangat positif.
Bahkan, tidak sedikit warga yang semakin antusias begitu mengetahui wayangan bakal didalangi sosok wanita.
Bukan tanpa alasan, ada kekhasan tersendiri yang berbeda dari dalang pria.
"Walaupun nggak sebagus dalang cowok, karena dari segi stamina, terus gerakan menggerakan wayangnya itu beda, keprakan, cek cek cek yang kedengeran, juga beda pasti," cetusnya.
Kini, seiring berjalannya waktu, keaktifannya sebagai dalang masih dipertahankan.
Meski, untuk pentas wayang berskala besar cenderung sudah minim.
Beberapa tanggapan dalang yang masih cukup marak lebih pada projek workshop dan edukasi.
Khususnya, menyasar anak-anak muda, atau warga dari luar Yogyakarta yang ingin belajar budaya Jawa.
"Memang wayangan belum ramai lagi, belum normal seperti sebelum (pandemi) Covid-19. Atau, mungkin zamannya juga sudah bergeser," ujarnya.