Ekonom UGM: Kelas Menengah Rentan Miskin, Pendapatan Stagnan tapi Biaya Hidup Tinggi

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., Ph.D., menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan penurunan

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
vinsky2002/pixabay.com
Ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

Tribunjogja.com Yogyakarta - Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., Ph.D., menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan penurunan. 

Kendati begitu, jumlah penduduk miskin tetap tinggi dan kerentanan ekonomi semakin meluas ke kalangan kelas menengah. 

Kelompok rentan miskin masih masih tinggi dan umumnya kelompok ini mudah tergelincir dalam kemiskinan jika terjadi guncangan ekonomi.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, Garis Kemiskinan (GK) tercatat sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan. 

Lebih dari 25 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 90 juta orang lainnya masuk dalam golongan hampir miskin, dan 115 juta orang tergolong dalam rentan miskin.

“Fenomena ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum dinikmati secara merata dan belum terindikasi pro-poor. Dalam situasi ini, kalangan menengah atas akan semakin kaya, sementara kalangan menengah bawah tidak menikmati kesejahteraan tersebut. Sehingga memperlebar jarak kesenjangan antar kelas sosial,” jelas Wisnu dalam Economic and Busines Journalism Academy yang mengangkat topik Survei Sosial Ekonomi Nasional: Kemiskinan (Badan Pusat Statistik) di FEB UGM beberapa waktu lalu. 

Diskusi ini dihadiri oleh jurnalis dari berbagai media dan membedah persoalan kemiskinan dari berbagai sisi.

Wisnu menjelaskan pertumbuhan Indonesia didominasi pertumbuhan trickle down. 

Pada level provinsi, hanya 11 provinsi yang memiliki pertumbuhan pro-poor ataupun strongly pro-poor. 

Sementara, daerah lainnya sebanyak 18 provinsi masih mengalami pertumbuhan trickle down dimana manfaat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati penduduk miskin secara proporsional lebih sedikit daripada penduduk tidak miskin

Lalu, tujuh provinsi mengalami immiserizing growth dimana manfaat pertumbuhan ekonomi disinyalir hanya dinikmati oleh kelompok penduduk tidak miskin sehingga memicu terjadinya ketimpangan yang sangat besar.

Koordinator Bidang Kajian EQUITAS (Equitable Transformation for Alleviating Poverty and Inequality) itu mengatakan bahwa kelas menengah di perkotaan menghadapi tekanan biaya hidup yang tinggi. 

Sementara, dengan penghasilan yang stagnan, kelompok masyarakat kelas menengah ini berpotensi untuk jatuh ke kategori rentan atau menuju kelas menengah (aspiring middle class).

Wisnu juga menyoroti jumlah pertumbuhan penduduk lebih banyak berasal dari kelompok menengah ke bawah yang akhirnya menambah beban ekonomi rumah tangga dan mendorong angka kemiskinan. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved