Hikmah Ramadan 1446 H

Lebaran, dari Hati yang Bersih Menuju Negeri yang Jujur

Editor: ribut raharjo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Basit Sugiyanto, Anggota DPRD DIY

Oleh: Basit Sugiyanto, Anggota DPRD DIY

TRIBUNJOGJA.COM - Sebentar lagi kita umat Islam di Indonesia akan menyambut datangnya Lebaran hari raya Idul Fitri, momen ini seharusnya bukan sekadar perayaan. 

Karena Idul Fitri adalah puncak dari perjalanan spiritual setelah sebulan penuh menjalani puasa di bulan Ramadan, melatih pengendalian diri, mengeluarkan zakat yang mengajarkan kepekaan sosial, dan saling memaafkan yang memurnikan hati. 

Namun di tengah kegembiraan Lebaran ada pertanyaan di benak kita, jika hati kita sudah bersih mengapa negeri ini masih ternoda oleh korupsi, ketidakadilan, dan praktik kotor yang merugikan negara dan rakyat ?

Kebersihan hati yang kita raih di bulan Ramadan seharusnya bisa menjadi fondasi untuk membangun Indonesia yang adil dan jujur. 

Sayangnya saat ini kita masih jauh dari harapan, kasus-kasus nasional seperti  penyelewengan dana bansos, dugaan mega korupsi di Pertamina, carut marut proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), hingga mempermainkan hukum untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya menunjukkan bahwa kebersihan hati belum menjalar ke tata kelola negara. 

Oleh karena itu, Lebaran kali ini harus kita jadikan titik awal untuk "jihad" melawan korupsi dan ketidakadilan, jangan sampai halal bi halal diselenggarakan di kantor-kantor dan instansi pemerintah tetapi sekadar ajang seremonial yang berlalu begitu saja.

Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari Ramadhan. Selama 30 hari kita menahan lapar, haus, dan nafsu. Ini bukan sekadar latihan fisik, tetapi pembentukan sebuah karakter yaitu  pengendalian diri. Bayangkan jika para pejabat publik memiliki dan menerapkan karakter seperti ini maka tidak akan ada tangan yang gatal mengambil apa yang bukan haknya, tidak ada pasal-pasal yang dipermainkan, tidak ada rakyat yang kelaparan karena bantuan sosial "bocor” di perjalanan. 

Pengendalian diri adalah kunci pertama yang diajarkan Ramadan, dan ini pula yang harus kita tuntut dari mereka yang mengelola negeri ini.

Pelajaran lain dari Ramadan adalah adanya zakat, yang merupakan wujud nyata dari keikhlasan dan kepedulian. Setiap tahun umat muslim mengeluarkan zakat mal maupun zakat fitrah untuk membantu fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Ini adalah cerminan hati yang bersih rela berbagi tanpa mengharapkan imbalan. 

Namun sangat ironis di saat rakyat kecil berbagi rezeki dengan kesadaran mandiri, para elit dan pengusaha korup tega melakukan korupsi menilep dana publik bernilai ratusan triliun. 

Lihatlah kasus mega korupsi di PT Patra Niaga kerugian negara ditaksir mencapai Rp 193,7 triliun (2023) dan diperkirakan mencapai Rp 1.000 triliun (2018-2023), kasus Korupsi PT Timah kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 300 triliun, kasus sebelumnya PT Asuransi Jiwasraya (2018-2020) kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun dan masih banyak kasus-kasusnya lainnya. 

Seharusnya mereka mengeluarkan zakat, seharusnya mereka berbagi dan peduli bukannya malah korupsi.
Di saat kita mengakhiri bulan Ramadhan ada tradisi saling memaafkan di hari Idul Fitri yang merupakan  wujud kebersihan hati. Ketika kita memaafkan kesalahan pribadi itu adalah bentuk kebesaran jiwa. 

Namun kita jangan salah "memaafkan" korupsi atau ketidakadilan, kita tidak boleh melupakan tanggung jawab mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Memang perubahan itu tidak mudah. "Jihad" melawan praktik kotor di pemerintahan adalah perjuangan panjang yang membutuhkan keberanian, kesabaran dan kerja sama. Tapi, Ramadan telah membuktikan bahwa kita mampu, kita bisa menahan diri, tumbuh kepekaan sosial kita dan rasa keadilan kita. 

Halaman
12

Berita Terkini