17 Tahun Gempa Jogja

HARI INI 17 Tahun Gempa Jogja: Mengapa Gempa Yogyakarta 2006 Begitu Mematikan?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bangunan kios disebelah utara Pasar Piyungan di Tegal Piyungan, Srimulyo, Piyungan, Bantul sebagian besar rusak parah akibat gempa bumi, tampak sebagian bangunan yang roboh total dan ada sebagian yang bagian atapnya ambruk. Foto diambil sebelah utara jalan, Sabtu (27/5/2006)

TRIBUNJOGJA.COM - Hari ini, 17 tahun lalu, pada 27 Mei 2006, gempa dengan kekuatan 5,9 skala Richter atau 6,4 skala magnitudo mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya di pagi hari, tepatnya 05.53 WIB.

Selama 57 detik, guncangan itu menggoyangkan bangunan yang berdiri di atas permukaan bumi.

Meski tidak sampai semenit, tapi itu mampu menyebabkan ratusan ribu rumah hancur dan ribuan orang meninggal dunia.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul, sebanyak 4.143 korban meninggal dunia di wilayah Bantul, dengan jumlah rumah rusak 71.763 rumah.

Sementara itu, di wilayah lain, tepatnya di Klaten, korban meninggal tercatat mencapai 5.782 orang, 26.299 korban luka berat dan ringan, serta 390.077 lebih rumah roboh.

Lantas, mengapa gempa Yogyakarta tahun 2006 itu begitu mematikan?

Melansir laman Universitas Gadjah Mada (UGM) di ugm.ac.id, Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM pernah menggelar diskusi bertema ‘Refleksi Gempa Bumi Yogyakarta 2006’ pada 4 April 2020.

Baca juga: Refleksi 17 Tahun Gempa Bantul Dikemas dalam Pertunjukan Ketoprak Edukasi

Diskusi itu merupakan cara kampus memperingati 14 tahun salah satu bencana mematikan tersebut.

Dr. Gayatri Indah Marliyani, ST. M.Sc., Ahli Kegempaan Teknik Geologi UGM, menyampaikan  banyak hal yang dapat dipelajari dari gempa tahun 2006 tersebut.

Gempa yang terjadi pagi hari tanggal 27 Mei 2006 itu memiliki magnitude sebesar M 6,4.

Pada umumnya, kekuatan dengan skala itu tidak menyebabkan kerusakan fatal.

Wartono memperbaiki rumahnya di Dusun Godegan, Poncosari, Srandakan secara mandiri menggunakan dana bantuan RTLH dari APBD, Rabu (31/7/2019) siang. (TRIBUNJOGJA.COM / Amalia Nurul)

Akan tetapi, pada kenyataannya, gempa tersebut berdampak besar dengan kerusakan yang ditimbulkan di hampir semua kawasan DIY.

Gayatri mengatakan hal itu disebabkan sumber serta kedalaman dari gempa yang dangkal.

Baca juga: Gempa-gempa Jogja yang Tercatat Sejarah, Paling Mematikan Sabtu Wage 27 Mei 2006

“Sumber gempa berada di daratan di Sesar Opak yang berada di sebelah timur Kota Yogyakarta, memanjang dari Prambanan hingga sisi timur pantai Parangtritis,” katanya pada saat itu.

Dia melanjutkan, sesar ini memang tidak secara langsung berada pada batas zona subduksi tapi pembentukannya masih berkaitan dengan proses subduksi lempeng samudera di bawah lempeng benua di selatan Jawa.

“Kedalamannya hanya 12,5 km di bawah tanah sehingga mengakibatkan efek goncangan cukup besar, mencapai sekitar VI-VII MMI," ungkapnya lagi.

Gayatri menyebutkan kondisi permukaan tanah Yogyakarta juga memengaruhi dampak kerusakan akibat gempa tersebut.

Ia menunjukkan area Yogyakarta ini berada dalam sebuah cekungan yang dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo di sisi barat dan Pegununungan Selatan di sisi timur.

Area ini disebut sebagai Cekungan Yogyakarta.

HANCUR DIGUNCANG GEMPA : Korban gempa memilah material bangunan rumahnya yang hancur akibat di guncang gempa M 5,9 di Jalan Imogiri Timur, Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (5/6/2006). Berdasar data sejarah kegempaan, DI Yogyakarta setidaknya pernah dilanda 12 kali gempa bumi merusak sebelum bencana 2006, yaitu pada tahun 1840 dan 1859 yang diikuti tsunami, 1867, 1875, 1937, 1943, 1957, 1981, 1992, 2001, 2004. (Wawan H Prabowo) (Wawan H Prabowo)

Namun, cekungan tersebut, menurut Gayatri, kini telah diisi oleh endapan lepas berupa pasir dan batuan yang berasal dari letusan Gunung Merapi.

Kedalaman sedimen lepas ini kurang lebih 50 meter.

“Ketika gempa terjadi endapan lepas tersebut menyebabkan terjadinya amplifikasi gelombang gempa sehingga menyebabkan permukaan di atasnya mengalami goncangan keras dan hasilnya adalah tingginya kerusakan yang terjadi pada tahun 2006 lalu," paparnya.

Waktu itu tidak ada seorangpun yang menyangka akan terjadi gempa bumi tektonik yang bukan akibat Gunung Merapi dengan kekuatan sebesar itu.

Dia mengatakan, kajian geologis kala itu belum mampu mengidentifikasi keberadaan sesar yang kini disebut sebagai Sesar Opak, sehingga gempa yang terjadi waktu itu tidak terduga.

“Setelah terjadi gempa 2006 itu, para akademisi mulai gencar meneliti kembali kondisi geologis daerah Yogyakarta ini,” beber dia.

Dikatakannya, setelah gempa itu, pencarian literatur kajian lama juga dilakukan yang akhirnya ditemukan bahwa gempa 2006 ini bukanlah gempa pertama yang terjadi di daerah Yogyakarta berdasarkan tulisan dari seorang penelti asal Belanda.

Sudah puluhan kali terjadi gempa dengan skala yang beragam selama kurun 200 tahun di Jawa.

“Salah satunya gempa besar yang terjadi pada tahun 1867 di sepanjang Sesar Opak yang menyebabkan efek goncangan mencapai VIII MMI,” ungkapnya.

Dari kondisi tersebut Gayatri menilai sudah seharusnya Pemda DIY memperkuat diri sebagai area tangguh bencana terutama terkait perancangan bangunan yang tahan gempa.

Hal tersebut mengingat masih aktifnya Sesar Opak serta sesar-sesar lain yang berpotensi menyebabkan gempa.

“Penelitian terkait sumber gempa maupun yang belum diketahui harus terus dilakukan secara sinergis antar stakeholder sebagai langkah antisipasi,” jelas dia.

Walaupun kita tidak tahu kapan gempa akan datang karena memang belum ada alat yang mampu mendeteksinya, tapi, katanya, melihat lokasi masyarakat yang berada di lokasi rawan gempa, pemerintah bisa mempersiapkannya dari membuat bangunan tahan gempa.

“Gempa tidak membunuh manusia, korban jatuh karena bangunan yang tidak tahan gempa,” pungkasnya.

Ekonomi Lumpuh

Seakan tak selesai, setelah getaran berhenti, masyarakat harus menghadapi kondisi ekonomi yang lumpuh total.

Kelumpuhan itu, antara lain terjadi karena listrik padam, penutupan Bandara Adisutjipto, macetnya sekitar 40 base transceiver stasiun (BTS) Telkomsel, kerusakan stasiun kereta api, dan ambruknya sejumlah pasar rakyat.

Pasar-pasar yang menjadi urat nadi perekonomian rakyat Yogyakarta juga sebagian tidak beroperasi.

Bahkan, Pasar Piyungan nyaris rata dengan tanah, serta sebagian bangunan Pasar Bantul juga roboh.

Bukan hanya itu, pusat pertokoan di kawasan Malioboro, warung-warung makan, serta minimarket pun tutup.

 

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Berita Terkini