Jadi belum 5 tahun, wapres terkesan berbeda mengambil kebijakan dengan presiden.
“Kalau kita memahami desain konstitusi, presiden dan wakil presiden itu satu institusi kepresidenan yang tidak bisa dipisahkan. Maka jangan sampai muncul dualisme head of government, atau kepala pemerintahan yang terbelah,” tegasnya.
Dilanjutkannya, kelemahan konstitusi Indonesia adalah tidak merinci apa saja kewenangan wakil presiden.
Jika disebut pembantu presiden, seharusnya beda dengan menteri.
“Sama-sama menjadi pembantu presiden, tapi menteri lebih sempit wapres lebih luas, lebih strategis dan lebih besar,” tuturnya.
Gugun menambahkan, sangat mungkin jika partai koalisi memilih cawapres yang bermodal finansial besar, tapi tidak cocok dengan capresnya.
Bisa juga cawapresnya dari ketua umum parpol koalisi yang punya suara sangat besar, tapi gengsinya besar tidak mau hanya menjadi pendamping presiden.
“Sekali lagi parpol jangan hanya terjebak pada pragmatisme politik saja,” katanya. (Ard)