"Ya agak sedih dan was-was, terutama kalau harga jadi turun terus cabainya tidak tahan lama. Untuk harga kami memang belum tahu, karena sistemnya kirim ke pasar dulu baru dapat uang setelah barang laku. Kami cuma berharap harganya tidak turun jauh," ucapnya sambil tersenyum getir.
Jika harga turun terlalu banyak, Sundari merasa akan rugi. Pasalnya, dalam merawat tanaman cabai itu tidak membutuhkan modal sedikit.
Terkadang ia bisa habis Rp5 juta - Rp10 juta untuk satu kali masa tanam.
Sedangkan, ketika harga cabai bagus, ia mengaku bisa mendapat untung Rp20 juta dalam satu kali masa tanam. Akan tetapi saat harga cabai jatuh, tak dapat dipungkiri Sundari hanya menerima Rp5-10 juta.
"Apalagi harga obat (tanaman cabai) sekarang mahal, satu kali beli bisa habis Rp500-an ribu dapat 2-3 jenis obat, untuk pemakaian 3-4 kali. Kalau penyemprotannya tiap satu minggu sekali biasanya habis dipanen langsung disemprot," urainya.
Tak sampai di sana, abu vulkanik yang masih menempel di tanaman cabai juga dapat berakibat fatal bagi buah-buahnya. Karena, kandungan panas dalam abu itu bisa membuat kulit cabai matang sehingga mudah membusuk apabila tidak segera dihilangkan.
Oleh karena itu, Sundari dan petani lain di Desa Krinjing berharap hujan deras segera mengguyur wilayah tersebut. Agar abu vulkanik yang menempel lekas tersapu bersih guyuran hujan.
"Makanya kami-kami ini sedang menunggu hujan karena abu tetap berengaruh. Memang tidka membuat tanaman mati, tapi bisa bikin cabai yang belum siap dipanen cepat gosong, busuk, dan empuk di pohon. Kalau dijual bisa tidak laku, karena kualitasnya turun banget," tandasnya. (drm)