TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta masyarakat tak lagi memakai istilah klitih untuk setiap aksi kejahatan jalanan.
"Kata klitih ini mohon tidak kita gunakan lagi, karena ini sudah salah kaprah," kata Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Rabu (6/4/2022)
Ade menjelaskan, klitih merupakan bahasa atau istilah lokal yang sedianya memiliki definisi jalan-jalan sore atau sekadar mencari angin sambil mengobrol.
Baca juga: Sejarah Gauk Plengkung Gading: Awalnya Dibunyikan untuk Sirine Bahaya, Kini Penanda Buka Puasa
Namun, saat ini istilah klitih mengalami pergeseran makna yang mengarah ke aksi kejahatan jalanan.
"( klitih ) itu budaya yang baik, tapi kalau kita gunakan kejahatan jalanan tawuran ini itu berkonotasi negatif. Bahkan kita sering mendengar orang bercanda, itu ada orang diamankan membawa sajam itu kelompk preman, awas ada klitih . Kita sendiri yang membuat suasana menjadi tidak lebih baik," imbuh Ade.
Kasus kejahatan jalanan terbaru yang tengah diselidiki Polda DIY adalah peristiwa meninggalnya pelajar SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta bernama D (18), Minggu (3/4/2022) dini hari kemarin di Jalan Gedongkuning, Kotagede, Kota Yogyakarta.
Pelajar itu meninggal seusai terkena ayunan gir bertali pada bagian kepala.
Dia sempat dirawat di RSPAU Hardjolukito sebelum akhirnya meninggal pada Minggu pagi.
"Mohon untuk kasus-kasus kejahatan jalanan yang secara eksplisit kemarin lebih tepatnya tawuran sebenarnya. Karena ada proses ejekan-ejekan dan proses ketersinggungan dari dua kelompok laki-laki yang sebagian itu orang dewasa dan sebagian anak-anak, masih pelajar," papar Ade.
Ade mengklaim, hasil evaluasi dan analisa selama 3 bulan menunjukkan bahwa para korban kejahatan jalanan tidaklah acak.
Alias bukan asal pilih atau sembarang serang.
Baca juga: Ketersediaan Gula Pasir di Kota Yogyakarta Dipastikan Aman
Sementara kasus tewasnya D dapat dikategorikan ke dalam kejahatan jalanan.
Namun, lebih spesifiknya mengarah ke tawuran karena didahului motif ketersinggungan.
"Analisis kami, korban kejahatan jalanan nggak acak. Terjadi ejek-ejekan, ketersinggungan berujung tawuran," imbuh Ade.
"Tawuran atau perkelahian yang sebagaimana diatur di KUHP itu penganiayaan. Bisa jadi para pihak yang mmbawa sajam itu menjadi pelaku dan pihak lainnya menjadi korban," sambungnya. (hda)