Kisah Perjalanan Karier Ki Seno Nugroho Ketika Mulai Digembleng Menjadi Dalang

Penulis: Setya Krisna Sumargo
Editor: Mona Kriesdinar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana doa bersama memperingati meninggalnya Ki Seno Nugroho, Senin (9/11/2020) malam

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Catur Kuncoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Catur Benyek Kuncoro mengungkap kisah perjalanan karier Ki Seno Nugroho. Dari cerita tersebut terungkap bagaimana darah seni pedalangan telah mengalir begitu kuat di dalam keluarga besar Ki Seno Nugroho.

Dari mulai Ki Cermo Bancak, Ki Suparman, Ki Seno Nugrogo hingga Gading Pawukir yang dipersiapkan untuk meneruskan jejak ayahnya, Ki Seno Nugroho yang meninggal dunia di usia 48 tahun pada Selasa 3 November 2020 lalu.

Ki Seno Nugroho meninggal saat kariernya sebagai dalang tengah menjulang di puncak. Selama lebih kurang empat tahun terakhir, pengaruh Ki Seno Nugroho di jagat seni tradisi begitu diakui.

Ki Seno Nugroho (Kompas.com)

Adik sepupu Ki Seno Nugroho, Catur Kuncoro, atau lebih popular disebut Ki Catur Benyek Kuncoro, membeberkan masa-masa sulit saat Seno Nugroho tergerak menekuni pedalangan.

Ki Catur Benyek Kuncoro mengungkapkan bahwa jalannya tidak mudah. Walau ayahnya, Ki Suparman, saat itu juga tengah moncer sebagai dalang wayang kulit gagrak Yogyakarta.

Cerita panjang lebar Catur Benyek Kuncoro tentang almarhum Seno Nugroho diunggah di channel You Tube Darjo.

Tribunjogja.com, Minggu (15/11/2020), sudah meminta izin Catur Benyek untuk menuliskannya, dan dipersilakan mengutip kisahnya.

Silsilah Keluarga

Catur Benyek Kuncoro terhitung masih keluarga dekat Seno Nugroho. Secara silsilah, ia menceritakan tentang kakeknya, Ki Cermo Bancak.

Mbah Bancak ini dalang kondang Yogyakarta pada masanya. Ia juga bisa menari, karawitan, main wayang orang, dan seni tradisional lain.

Nama Bancak menurut Catur Benyek, sebutan yang disematkan orang lain, karena ia dikenal piawai memainkan diri sebagai Bancak dalam pertunjukan bersama sosok Doyok, pasangannya.

“Bancak itu pemain yang mengenakan topeng hitam, Doyok bertopeng putih. Di seni reog atau jathilan, ada sosok Penthul dan Tembem. Nah, kira-kira sama lah seperti itu,” kata Catur.

Nama asli Mbah Bancak itu Cermo Diharjo. Setelah tenar sebagai dalang, ia akhirnya menggunakan nama Ki Cermo Bancak. Tinggalnya di Mangkukusuman, Kota Yogya.

Mbah Bancak ini menikahi Kasilah, perempuan yang kemudian identik disebut Mbok Cermo. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua putra, Suparman dan Supardi.

“Dari Mbok Cermo inilah saya mendapatkan semua cerita masa dulu. Saya lebih sering diasuh Mbok Cermo ini sejak TK, karena bapak dan ibu saya kerap bepergian untuk berkesenian,” ungkap Catur Kuncoro.

Dari kedua putranya itu, Suparman dan Supardi, mereka menikah dan dikaruniai putra/putri. Parman memiliki beberapa anak laki-laki, dan Seno Nugroho itu putranya ketiga.

“Pak Pardi punya tujuh anak, satu di antaranya saya ini,” lanjut dalang wayang hiphop ini.

Dipersiapkan Teruskan Perjuangan di Bidang Seni Pedalangan

Menurut Catur Benyek, bapak dan pakdenya, jelas tumbuh besar dalam iklim keluarga seniman.

Ada nama besar Ki Cermo Bancak. Seiring waktu, menurut Catur, ada keinginan Ki Cermo Bancak agar anak-anak meneruskan perjuangannya di bidang seni pedalangan.

Menurutnya, keinginan itu terlihat saat bagaimana Ki Parman menandai semua instrumen gamelan menggunakan nama Parman Pardi.

“Pokoknya ada space, entah di cunduk kelir atau cunduk gayor gong, di situ ada nama Parman Pardi. Ini satu cara beliau mengenalkan anak-anaknya kepada publik,” jelasnya.

Menariknya, lanjut Catur Kuncoro, tidak ada edukasi langsung Ki Cermo Bancak kepada kedua anaknya, Parman dan Pardi, soal seni pedalangan.

Kedua bocah itu lebih banyak menekuni ilmu pedalangan lewat menonton pertunjukan wayang, baik ayah mereka atau dalang lain, atau bertanya ke seniman lain.

Pada perjalanannya, Suparman lebih dulu mampu mendalang ketimbang Supardi. Meski tidak melatih secara langsung, Ki Cermo Bancak punya cara lain menggembleng anaknya.

Pada suatu ketika, kata Catur Kuncoro, Ki Cermo Bancak ingin menunjukkan ke publik kemampuan anaknya, yaitu Suparman.

“Inilah yang unik dan luar biasa,” kenang Catur Benyek. Dari kisah yang didengarnya, waktu itu, tanpa sebab, Ki Cermo Bancak membungkus kakinya menggunakan perban putih, memberinya obat merah.

Istri dan anak-anaknya tidak ada yang tahu. Lalu Ki Bancak memanggil Parman. Ia memberitahu Parman malam itu akan menggantikan dirinya mendalang, karena kakinya sakit.

Melihat situasi seperti itu, Parman memberanikan diri. Ia mengiyakan permintaan bapaknya. Ki Bancak dan Parman menemui tuan rumah punya hajat.

Lalu Mbah Bancak menyampaikan apa adanya. Ia mendakdak sakit di bagian kakinya. Jika diizinkan ia akan mewakilkan pentas ke anaknya.

Permohonan itu diizinkan pemilik hajatan. Pentas berlangsung lancar, tanpa komplain tuan rumah. Menurut Catur Benyek, inilah keunikan Ki Bancak menggembleng anak-anaknya.

“Tentu saja Ki Bancak sudah menakar kemampuan anaknya, Parman. Ini sebabnya kenapa bukan Pardi. Mungkin pada waktu itu Pardi dianggap belum layak tampil di depan publik,” katanya.

Tongkat Estafet Seni Pedalangan

Proses pendidikan keluarga dalang seperti ini berlanjut di keturunan Mbah Bancak. Ketika Ki Bancak meninggal dunia, Ki Suparman meneruskan kehebatannya.

Ketika Ki Suparman naik daun, jam terbangnya tinggi, akhirnya perjalanan karier Supardi yang awal mulanya terampil mendalang, ia seperti kayoman.

“Ia di bawah bayang-bayang ayah dan kakaknya. Akhirnya karir Supardi lebih dikenal sebagai pengendang Ki Suparman. Ia punya skill bagus di kendang. Ia sangat cocok, klik mengendangi kakaknya,” beber Catur Benyek.

Kisah serupa terjadi di keluarga Ki Parman. Menurut Catur Kuncoro, Seno Nugroho sebenarnya belakangan menyukai wayang.

Ia punya dua kakak laki-laki, Bimo dan Bayu. Bimo lebih dulu belajar pedalangan, tapi menurut Catur ia tidak bertahan.

Tapi saat itu Seno Nugroho justru mulai tertarik wayang. Ia termotivasi gaya mendalang Ki Manteb Sudharsono dari Karangpandang, Karangayar.

“Mas Seno tadinya jarang sekali mau nonton wayang. Tapi tiba-tiba sangat menggebu saat Ki Manteb pentas. Bahkan selalu nonton pertunjukan Ki Manteb di Sport Hall Kridosono,” katanya.

“Waktu itu sudah pakai tiket. Bayangkan, diajak nonton saja susah, tapi waktu Pak Manteb mendalang, Mas Seno harus bisa nonton. Beli tiket. Caranya, kalau tidak ada uang, apa yang ia punya akan dijual. Kalau sudah mentok tak ada yang bisa dijual, ia biasanya menyuruh saya minta uang ke Pak Parman,” kenang Catur Benyek.

“Yang ingin saya katakan proses edukasi tadi. Mas Seno tidak pernah diajari langsung ayahnya,” katanya.

Ki Seno Nugroho Mulai Mempelajari Wayang

Catur Benyek menceritakan momen ketika Seno Nugroho ingin masuk SMKI jurusan pedalangan. Ia menemui bapaknya, Ki Suparman, minta diajari suluk pembuka wayang, untuk keperluan tes praktik masuk SMKI.

“Apa kata ayahnya, “Makanya kalau lihat wayang, jangan cuma tidur, jajan, main-main. Kamu perhatikan supaya kamu tahu suluk, tahu hal penting aturan main wayang,” kata Catur mengutip drama ayah anak itu.

“Nampaknya di situ Mas Seno kagol, mangkel, karena ia masih muda. Dia lari ke Kadipiro, ke Ki Supardi, ayah saya, minta diajari suluk. Langsung diberikan secara detil sampai dia bisa,” ujar Catur Benyek.

“Akhirnya Mas Seno masuk SMKI. Selang tiga tahun kemudian saya mengalami hal sama. Saya minta hal sama ke ayah saya, supaya diajari suluk sri tinon. Yang dikatakan ke saya sama seperti yang dikatakan Ki Parman ke Mas Seno,” kenang Catur.

“Mas Seno masih mending, bisa lari ke pakliknya, Ki Supardi. Lha saya?” katanya retoris sembari berseloroh.

Catur menceritakan hal ini sebagai ilustrasi tidak selalu dalang menurunkan ilmunya langsung ke anaknya.

Meski begitu setiap dalang punya harapan besar ke anak-anaknya, supaya bisa meneruskan ketrampilannya.

Ketika Mas Seno mulai belajar mendalang, betapa bahagianya Ki Parman. Saya tahu karena saya serumah dengan budhe, atau si mak di rumah Mas Seno. Sejak SMP saja tinggal di sana hingga SMKI,” kata Catur Benyek.

Catur pun sejak awal meniti jejak sebagai dalang, bergabung di Wargo Laras. Ia menyokong penuh penampilan kakak sepupunya. Hingga suatu ketika Catur memutuskan berpisah.

Catur menemui Ki Seno Nugroho, dan menyampaikan ingin mundur dari Wargo Laras. “Awalnya dimarahi sama Mas Seno. Kenapa kamu? Nggak mau bantu saya ya?” cecar Ki Seno kepada Catur Benyek.

Catur Benyek lalu menyampaikan alasannya panjang lebar, tapi intinya ia ingin mandiri.

“Mas, saya tidak ingin selamanya ikut orang, saya ingin mandiri. Saya ingin mengibarkan bendera sendiri, entah bendera itu berkibar atau akan roboh, saya ingin mandiri,” turut Catur ke Ki Seno.

Mendengar alasan itu, Ki Seno menurut Catur Benyek langsung mengacungkan jempol, dan mendukung dirinya agar berhasil merengkuh cita-citanya. Catur akhirnya berkelana, mencari genre wayang lebih progresif hingga saat ini.

Catur Benyek Kuncoro lebih dikenal sebagai dalang wayang hiphop. Namun begitu, ia juga piawai memainkan wayang klasik purwo.

Tambahan barunya, Ki Catur Benyek saat ini satu-satunya dalang wayang Diponegaran.

Pertunjukan wayang kulit "Wayang Diponegoro" di Ndalem Yudonegaran, Jalan Ibu Ruswo, Selasa (12/11/2019), menampilkan dalang Ki Catur Benyek Kuncoro. (TRIBUNJOGJA.COM / Setya Krisna Sumargo)

Pertunjukan wayang kulit menampilkan figur-figur utama saat terjadi Perang Jawa atau Perang Diponegoro.

Atas dasar ilustrasi historis itu, Catur Benyek lalu menyinggung Gading Pawukir, putra Ki Seno Nugroho, yang menurutnya kini menerima beban dan harapan begitu besar meneruskan kiprah almarhum ayahnya.

Gading Pawukir Jadi Penerus Ayahnya

Anak Ki Seno Nugroho, Gading Pawukir dan Nizar menunjukkan wayang pemberian Ki Manteb Sudharsono. (TRIBUNJOGJA.COM / Ahmad Syarifudin)

Peristiwa kecil ketika Ki Manteb Sudharsono menyerahkan tiga figur wayang kepada Gading Pawukir di acara 7 hari meninggalnya Ki Seno Nugroho, dianggapnya momen bagus
Ki Manteb Sudharsono, dalang idola Ki Seno Nugroho, juga memberi nama tambahan Seno Saputro kepada Gading Pawukir.

Baca juga: 7 Hari Wafatnya Ki Seno Nugroho, Ki Manteb Sudharsono Beri Gading Pawukir Tiga Wayang

Catur Benyek menilai hal itu harapan bagus untuk Gading Pawukir bisa meneruskan jejak ayahnya. Tapi di sisi lain, Catur Benyek sebagai paman, melihat ada sisi kurang tepat.

Gading Pawukir menurutnya menerima beban yang sangat berat, yang semestinya belum disandang anak sekecil. Baginya, belum saatnya Gading menerima beban itu.

Catur Benyek menegaskan, ia tidak bermaksud negatif, karena sebagai saudara dekat, ia punya tugas moral membimbing Gading.

Ki Manteb Sudharsono hadir di tahlilan 7 hari meninggalnya Almarhum Ki Seno Nugroho di Dusun Gayam, Argosari, Sedayu, Bantul.  (TRIBUNJOGJA.COM / Ahmad Syarifudin)

“Alasan saya, simpel. Psikologi anak ini belum stabil,” ujarnya. Catur Benyek mencontohkan banyak dalang anak yang akhirnya hilang, ketika dia menginjak masa pendidikan SMP dan SMA.

Seno Nugroho menurut Catur Benyek juga melalui jalan hidup yang berliku. Dari kecil, SD, SMP belum senang wayang.

Di SMKI (pedalangan) pun juga belum terlihat. Ia masih senang mancing, mencari belut, ular, dan lain sebagainya layaknya remaja dan pemuda masa itu.

Karena itu menurut Catur Benyek, (Gading) jangan terlalu dipaksakan. Ini tidak terlalu baik untuk psikologi anak. Kalau saya mendingan, dipersiapkan, jangan tergesa-gesa menampilkan di depan publik,” imbuhnya.

Caranya bermacam-macam. Bisa mendatangkan guru privat, belajar dari You Tube, yang penting prosesnya tidak dipaksakan.

“Semoga Gading bisa meneruskan kehebatan ayahnya, tapi melalui proses dan tahapan yang benar. Ia harus matang, bukan matang karbitan. Biarkan ia berproses sesuai dirinya sendiri,” harap Catur Benyek.

Ia mengaku turut punya tanggungjawab membantu Gading, membimbingnya, kalau diizinkan. “Jadi pandangan-pandangan saya ini tidak mungkin bermaksud negatif,” ujarnya.(Tribunjogja.com/xna)

Berita Terkini