Slamet Wahyuni, Pemuda Pelopor Tenarnya Kopi Merapi Babadan

Penulis: Setya Krisna Sumargo
Editor: Kurniatul Hidayah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

pelopor tenarnya kopi Babadan atau kopi Merapi Babadan

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG – Masa panen raya kopi Arabica Dusun Babadan sudah lama berlalu. Saat ini, ribuan tanaman kopi di dusun lerengbarat Merapi tengah berbunga.

Sebagian sudah berbuah. “Perkiraan enam bulan lagi panen raya,” kata Slamet Wahyuni (20) kepada Tribun di rumahnya di Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, Kamis (29/10/2020).

Pemuda inilah pelopor tenarnya kopi Babadan atau kopi Merapi Babadan, yang dibudidayakan sejak 2012. Kisah kopi di dusun ini penuh onak duri.

“Nyaris habis dibabati petani,” kata Slamet, putra Pak Poni, Ketua Kelompok Tani Tumpang Sari di dusun tersebut.

Cerita kopi Arabica Babadan bermula pada 2012, ketika pemerintah lewat Ditjen Perkebunan Kementerian Kehutanan mendatangkan 100.000 bibit tanaman kopi.

Penduduk satu dusun, sekitar 100 KK, bersemangat menanami kebun dan tegalannya. Mereka membuat plot-plot khusus tanaman kopi.

Di antara tanaman-tanaman kopi itu, penduduk menaburkan bibit sayur mayor dan kadang tembakau. Sistem pertaniannya tumpang sari.

Lalu, tiga tahun kemudian, atau 2015, beribu-ribu tanaman kopi itu sudah menghasilkan buah. “Panen, lalu dipetik, dikupas, dijemur atau dikeringkan begitu saja,” jelas Slamet.

Baca juga: GEMPA Magnitudo 7 Guncang Turki dan Yunani, Empat Orang Dilaporkan Tewas dan Ratusan Lainnya Terluka

Baca juga: Waspadai Potensi Gagal Ginjal yang Disebabkan Akibat Diabetes, Kenali Beberapa Gejalanya

Pemuda berusia 20 tahun itu mengatakan, banyak yang bergembira karena hasil panennya sangat bagus.  Mereka berharap akan segera mendapatkan uang banyak.

Apa yg terjadi? Biji kopi Dusun Babadan, dalam bentuk green bean mangkrak. Sulit dijual, tidak ada pembeli. Kualitasnya sangat rendah.

“Petik dan olahnya serampangan. Tidak ada ilmu, dan akhirnya kualitasnya sangat rendah. Dijual sulit,” kenang Slamet yang kini memiliki jaringan luas di bidang perkopian.

“Putus asa, berkuintal-kuintal green bean kopi dihambur-hamburkan ke kebun. Dibuang begitu saja,” kata Pak Poni, ayah Slamet Wahyuni.

Merasa prospeknya suram, dan keberadaan tanaman kopi diangap mengokupasi lahan sayur mayur, batang-batang tanaman kopi umur 3 tahun pun dibabat, nyaris habis.

Dari 100.000 batang tanaman kopi, tersisa sekitar 30 persen saja. Itulah yg diselamatkan Slamet dan Pak Poni. Pria ini Ketua Kelompok Tani Tumpang Sari Dusun Babadan.

Pak Poni dulu juga turut membabati sebagian tanaman kopi di kebunnya. "Mboten ming getun (Tidak hanya menyesal)," katanya saat ditanya apakah ia menyesal membabati tanaman kopi.

Halaman
123

Berita Terkini