“Sehingga kubah lava sudah lebih kecil separuhnya dari September 2019. Jadi awan panasnya semakin kecil,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pasca 2010 Gunung Merapi mengalami migrasi magma kembali. Indikasinya terjadi letusan-letusan freatik. Secara singkat, terdapat 7 fase yang teridentifikasi dari data-data pemantauan terhadap aktivitas Gunung Merapi.
“Tahap terakhir atau fase ke-7 yang sedang berlangsung di Gunung Merapi saat ini adalah fase intrusi magma di dalam conduit dalam,” tuturnya.
• Gunung Merapi Mengalami Deformasi di Sektor Barat Laut Pasca-erupsi 21 Juni 2020
• Puncak Merapi Terkikis 19.000 Meter Kubik Pasca-erupsi 21 Juni 2020
Ia menjelaskan, fase ke-7 ini adalah tahap yang menarik, sebab memiliki ciri yang mirip dengan fase ke-2, yaitu intrusi conduit dalam. Fase ini ditandai dengan letusan-letusan eksplosif diiringi dengan kegempaan dalam.
“Aktivitas Merapi saat ini memasuki fase instrusi baru, yaitu fase ke-7. Jika tekanan magma kuat maka erupsi akan dapat berlangsung kembali. Namun, jika tidak maka instrusi magma akan berperan sebagai sumbat yang mengakhiri siklus erupsi 2018-2019,” papar Agus.
Agus menambahkan, letusan-letusan yang kemarin terjadi serupa dengan letusan-letusan yang terjadi sejak 2018, bahkan sejak 2012.
Secara total, kata dia, sejak 2012 telah terjadi 35 kali letusan eksplosif Gunung Merapi. “Selama terjadi letusan-letusan itu memang tidak membahayakan masyarakat di luar radius 3 km. Namun, cukup membahayakan di dalam radius 3 km karena ada lontaran-lontaran batu, sehingga kami sarankan sejak 2013 pendakian di puncak Merapi ditiadakan,” pungkasnya.
( tribunjogja.com / maruti a husna )