Disuguhi Tarian Beksan Lawung Ageng
Rombongan Raja dan Ratu Belanda ini disuguhi Tarian Beksan Lawung Ageng di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta.
Pertunjukan seni budaya tersebut dilakukan setelah kedua belah pihak yakni dari Keraton Yogyakarta dan Kerajaan Belanda bertukar cinderamata dan menyaksikan koleksi benda pusaka di Tratag Proboyekso.
Tarian Beksan Lawung Ageng sendiri merupakan salah satu tarian karya Sri Sultan Hamengku Buwono I di mana naskahnya yang berbentuk Serat Kandha baru saja dikembalikan dari British Library Inggris ke Keraton Yogyakarta.
Berdasarkan informasi dari kratonjogja.id, Beksan Lawung Ageng merupakan tarian yang menjadi bagian upacara kenegaraan. Layaknya tari gaya Yogyakarta lainnya, Beksan Lawung Ageng juga mengandung falsafah hidup. Melalui tarian ini Sri Sultan Hamengku Buwono I menanamkan nilai-nilai keberanian serta ketangkasan seorang prajurit keraton.
Beksan Lawung Ageng diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) yang terinspirasi perlombaan watangan. Watangan adalah latihan ketangkasan berkuda dan memainkan tombak yang biasa dilakukan oleh Abdi Dalem Prajurit pada masa lalu.
Dalam watangan, yang juga dikenal dengan sebutan Seton karena dimainkan tiap hari Sabtu, seorang prajurit akan berkuda sambil membawa tombak berujung tumpul yang disebut lawung. Lawungtersebut kemudian digunakan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan. Perlombaan ini dahulu diadakan di Alun-Alun Utara dengan diiringi gamelan Kiai Guntur Laut yang memainkan Gendhing Monggang.
Beksan Lawung Ageng menggambarkan suasana berlatih perang dan adu ketangkasan dalam bermain tombak, sama seperti suasana pada saat watangan berlangsung. Gerakan-gerakannya mengandung unsur heroik, patriotik, dan berkarakter maskulin. Dialog yang digunakan dalam tarian merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa. Dialog tersebut umumnya adalah perintah-perintah dalam satuan keprajuritan.
Setelah rangkaian acara, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa pembicaraan yang bergulir di antara keduanya adalah obrolan ringan yang sarat akan nostalgia.
"Ya hanya kenangan beliau dulu pernah ikut ibunya pada waktu ke sini. Ratu Beatrix itu kan (pernah ke Keratob), Willem kan ikut waktu itu. Sekarang posisinya beliau datang ke sini (sebagai Raja)," ucapnya.
Selain dengan Sultan, Penguasa Keraton Yogyakarta tersebut menjelaskan bahwa Raja dan Ratu Belanda banyak melakukan dialog dengan putri sulungnya, GKR Mangkubumi.
"Tahun lalu membuka museum naskah indonesia di Leiden. Kan anak-anak kan diundang datang ke sana. Mereka sudah kenal," ujarnya.
Terkait cinderamata yang diberikan Sultan ke Belanda yakni berupa penutup kepala berwarna perak. Saat disinggung mengenai pemberian dari Kerajaan Belanda, Sultan mengatakan bahwa hadiahnya belum dibuka sehingga belum mengetahui hasilnya.
"Yang tadi sepertinya motif blangkon ya dari perak ya. (Kalau dari Belanda) ora ngrasakke, ditutup, gak saya buka," imbuhnya. (TRIBUNJOGJA.COM)